Satyam, Siwam, Sundharam

Selasa, 30 Januari 2018

Homa Yadnya (Agni Hotra) Pemujaan Kepada Dewa Agni

Homa Yadnya (Agni Hotra) Pemujaan Kepada Dewa Agni

PENDAHULUAN
Aktivitas keagamaan yang terjadi dewasa ini semakin semarak dan bergairah dari kalangan usia muda yang datang ke Pura untuk melakukan Puja. Kalau kita lihat dewasa ini, upacara ritual keagamaan sangat megah. Upacara megah tersebut belumlah bisa dipakai ukuran bahwa kita telah melaksanakan ajaran agama dengan baik. Kita perlu menyelaraskan perimbangan pelaksanaan tiga kerangka agama Hindu agar umat menjadi semakin kuat dan penuh sraddhanya. Karena kalau hanya menekankan pada ritual tanpa disertai  pemahaman tattwa dan susila semuanya terasa bak takhyul saja, maka inilah tantangan Hindu ke depan.

Upacara Agnihotra adalah upacara berdasarkan Veda, upacara ini perlu mendapat perhatian untuk dijadikan sebagai pendamping atau sebagai alternatif di dalam menyempurnakan persembahan atau pelaksanaan upacara yajna. Kalau dilihat sejarah di Bali, Agnihotra yang sering disebut Homa Yajna telah datang dan dilaksanakan di Bali bersamaan dengan masuknya agama Hindu di Bali.

Oleh karena itu, ketika upacara Agnihotra mulai berkebang dan hidup lagi, maka tidaklah patut dicurigai, bahwa ia hadir sebagai aliran atau upacara yang asal atau sumbernya tidak jelas. Perkembangan suatu ritual agama yang berdasarkan kitab suci membantu memperkuat agama itu sendiri dan memperbesar keyakinan dan ketaatan pelaksanaan ajaran agamanya. jadi pengembangan Agnihotra  kedepan sepenuhnya terserah pada umat untuk memilihnya.  Kebebasan ini tercermin dalam Bhagavadgita dengan menyebutkan “jalan apapun yang kau tempuh akan aku karunai”
Seperti dalam petikan kisah Ramayana, di mana pada tampilan awalnya selalu muncul upacara Agnihotra yang dilakukan oleh para “pertapa”, guru-guru suci, rsi-rsi di pertapaannya. Jadi jelas bahwa upacara tersebut memanglah sebuah upacara tua menurut Veda yang sampai saat masih banyak dilakukan di India. Upacara ini berlaku secara universal, karena dilakukan di upacara-upacara keagamaan secara umum.

PENGERTIAN AGNIHOTRA
Agnihotra berasal dari kata Sansekerta dimana terdiri dari dua kata yaitu Agni dan Hotra. Agni adalah api dan Hotra adalah persembahyangan atau melakukan persembahan. Jadi agnihotra adalah sebuah ritual atau bentuk upacara persembahan.  Secara umum semua yajna dalam Veda mempunyai arti sama yaitu Agnihotra. Sebab pengertian yajna dalam Veda adalah persembahan yang dituangkan ke dalam api suci. Api suci yang dimaksud adalah api yang dihidupkan dan dikobarkan dalam kunda. Kunda adalah lambang pengorbanan. Mengapa persembahan dimasukkan dalam api, hal ini disebutkan dalam Purana, bahwa Dewa Agni (disimbulkan dengan api) adalah lidahnya Tuhan. Sehingga maknanya adalah jika persembahan disampaikan melalui lidah Tuhan, maka persembahan tidak akan nyasar ketempat lain.
Ini disebutkan dalam petikan mantra  Reg Veda I.1.1
Agnimile Purohitam, yajnasya devam rtvijam
Hotaram ratnadhatanam
Arti :
“oh deva Agni, Engkau sebagai Pendeta Utama, dewa pelaksana upacara yajna, kami memuja-Mu, Engkau pemberi Anugrah berupa kekayaan yang utama”
Maknanya adalah bahwa dewa Agni berfungsi dan bertugas sebagai Purohita (Pendeta Utama), maka dapat disimpulkan bahwa tanpa dewa Agni berarti semua upacara persembahan akan sia-sia belaka. Kalau dikaitkan dengan yajna di jaman sekarang tidak akan lepas dari api itu sendiri.

YANG MELAKUKAN PERSEMBAHAN
Disebutkan dalam Kitab Satapathabrahamana : “Mereka (Tuhan) mengatakan siapa yang melakukan pemujaan kepada Beliau, para Brahmana yang mempersembahkan kepada Beliau. Lalu apa yang diberikan, yang diberikan adalah persembahan Agnihotra dan yang ditinggalkan dalam sendok besar adalah sisa (ucchista) dari Agnihotra. Yang tersisa dalam mangkok adalah beras yang dituangkan dari wadahnya.

JENIS – JENIS AGNI
Ada beberapa Jenis Agni, yaitu :
1.     Ahavaniya Agni ; yaitu api suci untuk memasak makanan
2.     Grhapatya Agni ; yaitu api upacara perkawinan untuk menjaga kesucian perkawinan
3.     Cita Agni; yaitu api suci untuk membakar mayat

FUNGSI AGNIHOTRA
Pada hakekatnya Agnihotra adalah upacara multifungsi. Secara garis besar kehidupan manusia dibagi menjadi dua yaitu :
a.     kewajiban; yaitu berupa perintah Tuhan yang harus dilaksanakan oleh umatnya
b.     tindakan yang dilakukan  berdasarkan untuk pemenuhan kebutuhan/keinginan
Demikian pula upacara Agnihotra dilakukan untuk :
1.     Nitya Karma  (sebagai kewajiban)
Nitya karma adalah sebuah kewajiban yang harus dilakukan seseorang sebagai penganut Hindu. Dari kewajiban ini dapat diketahui bahwa semua tugas mulia tersebut berguna untuk membersihkan diri dan selalu melakukan pencerahan hidup. Ada enam hal penting yang menjadi tugas pokok yang harus dilakukan sebagai pelaksanaan Nitya Karma, yaitu :
a.     Dewa Puja
b.     Melaksanakan Homa dan Belajar sastra Agama
c.     Melayani Orang Tua
d.     Memberi pelayanan kepada binatang, orang miskin dan orang tak punya
e.     Melayani Guru, Athiti
f.      Meditasi
2.     Naimitika Karma/Kamya Karma (sebagai bentuk keinginan pada kebaikan)
Naimitika Krma atau sering disebut Kamya Karma adalah suatu kegiatan yang dilakukan  berdasarkan keinginan.
3.     Mencapai Pembebasan
Disebutkan dalam  Aitraiyabrahmana, 5,31,2 bahwa jika dia melakukan persembahan sebelum matahari terbit, ini seperti memberikan pada seseorang seekor gajah, ketika tangannya tidak menjulur keluar. Tetapi jika mempersembahkan setelah matahari terbit, ini seperti memberikan sesuatu pada seseorang seekor gajah setelah ia menjulurkan tangannya. Oleh karean itu, harus dilakukan pada saat matahari terbit yang akan membawanya pada Surga.
4.     Penebusan Dosa
Disebutkan dalam Satapathabrahamana 2.3.1.6 bahwa seperti seekor ular bisa bebas dari kulitnya, demikian pula ia membebaskan dirinya dari kejahatan malam hari, demikian pula halnya yang mengetahui dengan melakukan persembahan Agnihotra ia akan bebas dari kejahatan. Penjelasan tentang pembebasan dari kejahatan dan dosa dapat dilakukan dengan melaksanakan agnihotra pada saat matahari terbenam. Ini disebutkan dalam kitab-kitab suci Jaiminiyabrahmana I.8;I.9-10 dan masih banyak kitab lainnya.
5.     Homa Therapy
Homa Therapy berarti penyembuhan. Ini ditimbulkan karena efek pelaksanaan Homa di udara. Methodenya adalah harmonisasi putaran energi yang sederhana dari planet. Seorang ahli menjelaskan bahwa reaksi kimia yang terjadi ketika pyramid api Agnihotra membakar semuanya. Yang terpenting adalah radiasinya, kita tahu aspek kimia dari api dimana bagian akhirnya didapatkan H2O, CO2 dan CO. Kemudian ada sinar dan sinar infra merah. Ini adalah pemandangan klasik. Jika dilihat struktur yang lebih halus dari api, maka didapatkan lompatan-lompatan electron dari satu atom pada atom lainnya (seperti sinar dari lampu) dan ini merupakan emisi pada level yang sangat halus dengan serangan tiba-tiba yang kuat  seperti teori quantum modern.

WAKTU YANG TEPAT MELAKSANAKAN AGNIHOTRA
Waktu pelaksanaan agnihotra yang baik sangat tergantung pada jenis upacara agnihotra yang dilaksanakan, yaitu :
1.     Waktu untuk Nitya Karma
Pelaksanaannya ditentukan oleh keberadaan matahari yaitu matahari terbit atau terbenam. Seperti disebutkan dalam beberapa kitab suci, yaitu :
a.     Kitab Katakasamhita;6,5;54-4 disebutkan “ dia hendaknya melaksanakan agnihotra di sore hari ketika saat matahari terbenam, pagi hari ketika matahari belum terbit”
b.     Maitrayanisamhita I.8,7 ; 129-9 disebutkan “agnihotra hendaknya dilaksanakan pada saat malam tiba dan pagi hari setelah matahari terlihat bersinar terang”
2.     Waktu untuk Naimitika Karma
Waktu pelaksanaan agnihotra dalam rangka Naimitika Karma sedikit berbeda dengan waktu sandhya agnihotra atau Nitya Karma. Pada Kamya atau Naimitika Karma, agnihotra dilaksanakan sesuai dengan waktu yang dipilih oleh Yajamana dan Purohita.

CARA KERJA AGNIHOTRA
Prinsip keseimbangan sangat dominant dalam kerja Agnihotra. Seperti proses terjadinya hujan, dimana Air laut menguap karena panas matahari, membentuk awan tebal, terbawa angin kearah pegunungan, karena dingina membentuk titik-titik air, jatuh menjadi hujan, memberikan kesuburan kepada hutan. Air hujan meresap dan disimpan oleh lapisan hutan, mengalir mengikuti aliran sungai dan berakhir di samudra. Siklus ini terulang terus, tiada henti. Dengan adanya hujan ini maka kelangsungan hidup semua mahluk hidup menjadi terjaga. Demikian juga kerja agnihotra dengan menyalakan api suci, dimana persembahan utama ghee, biji-bijian, dan bunga-bungaan, semua keharuman ini terbawa oleh asap yang bergabung bersama awan, kemudian menjatuhkan hujan. Hujan mendatangkan kesuburan, kesuburan ini dinikmati umat manusia dalam menjalani hidupnya di dunia.
Pernyataan ini termuat disebutkan dalam Atharvaveda VIII.107.1
ava divas tarayanti, sapta suryasya rasmayah
apah samudriya dharah
Arti :
”tujuh sinar matahari, mengangkat uap air dari samudra naik ke langit dan semuanya itu menyebabkan turunnya hujan”

YAJAMANA
Kitab Baaudhayanasratasutra;3.5.13 menyebutkan ”aham yajamano ma risam” artinya ”persembahan yajamana akan dilaksanakan oleh pendeta”. Awalnya, Agnihotra yang sederhana dilaksanakan oleh yajamana pada api sucinya sendiri, bisa dibandingkan dengan yang dilaksanakan di rumah-rumah dimana penjabarannya berdasarkan Srauta Agnihotra, tetapi untuk kelanjutan bentuk yang lebih lama dari ritual api suci.

YAJNA SEBAGAI PUSAT ALAM SEMESTA
Yajna dikatakan sebagai suatu sarana untuk mengembangkan sesuatu dari ketidakberaturan menjadi teratur. Teratur ini dimaksudkan ada suatu patokan atau titik tolak yang dapat digunakan dalam pelaksanaannya. Oleh karena Yajna merupakan sumber aturan dan efisiensi, maka hal ini diagungkan sebagai ”Pusar Alam semesta” seperti disebutkan dalam Regveda I.164.35
Iyam vedih paro antah prthivya ayam yajno bhuvanasya nabhih, ayam somo Vrishno asvasya reto brahmayam vacah paramam
Arti :
”Altar (kunda pemujaan) adalah tempat tertinggi di bumi, tempat yajna (kunda) adalah putsat alam semesta. Persembahan berupa daun-daun atau rerumputan akan menyuburkan bumi dengan jatuhnya hujan secara teratur, Oh Tuhan, Engkau adalah Mahakuasa dan tersuci diantara semuanya”
Makna sloka ini, dimana ada satu kalimat ”yajno bhuvanasya nabhih” artinya ”dimana ada pusat, disana ada bundaran (mandala) yang mengelilinginya. Pusat budnaran membentuk bagian integral dari lingkaran yang sama, dan masing-masing menjadi yang lain. ”bhuvanasya nabhih” = ”pusat alam semesta” adalah diskripsi dan sekaligus definisi yajna dalam segala bentuk manifestasi. Sedangkan satya merupakan prinsip utama yang memungkinkan beroperasinya kekuatan-kekuatan menghadapi ketidakbenaran atau kekacauan. Yajna adalah pernyataan tentang deva atau prinsip sattvik menghadapi asura-asura atau kekuatan-kekuatan yang negatif.

DUDUK MELINGKAR, MENGELILINGI KUNDA
Dari penjelasn di atas, maka bentuk pelaksanaan agnihotra, pemimpin upacara, yajamana, serta peserta lainnya duduk mengelilingi kunda, sebagai pusat alam semesta. Kunda pemujaan adalah tempat tertinggi dan pusat alam semesta. Sedangkan pendeta, yajamana dan peserta lainnya duduk sejajar di tanah, menyimbolkan persamaan kedudukan di mata Tuhan. Sebab, bekal manusia setelah meninggal hanyalah karma sewaktu hidupnya atau karma yang tersisa dari kehidupan masa lalu.
Dijelaskan dalam Regveda I.1.4, mengapa peserta agnihotra duduk melingkar mengelilingi kunda atau Vedi
Agneyam yajnam advaram, visvatah pariburasi sa
Id devesu gacchati
Arti
Dengan persembahan tanpa himsa, persembahan dilakukan dari segala arah, semoga sampai kepada para deva-deva

Makna persembahan dilakukan dari segala arah, menunjukkan bahwa kunda menjadi pusat persembahan, karena pusat alam semesta ada pada api suci. Hal  ini tentu saja berbeda dengan pola pemujaan yang mengambil Purana sebagai sumber. Karena adanya lingga atau di Bali lingga diletakkan di pelinggih, sehingga pemujaan dilakukan menghadap pelinggih. Perbedaan ini muncul ketika pemujaan berpusat pada api suci pada Agnihotra.
Dalam perkembangannya maka sang yajamana dengan tulus mempersembahkan persembahan kepada deva-deva dan selalu mencari persahabatan kepada deva-deva, ini akan meningkatkan kemuliaan hati dan pribadi sang yajamana, maka dengan mantra permohonan atau doa berikut sang yajamana menyatakan ketulusikhlasan dalam beryajna. Seperti disebutkan dalam Regveda I.89.2 tentang hubungan atau korelasi yang dilakukan yajamana dengan para deva;
Devanam bhadra sumatir rijuyatam devanam ratir abhi no ni vartatam, devanam  sakhyam upa sedima vayam deva na ayuh pra tirantu jivase
Arti :
Semoga Tuhan yang Mahabijaksana selalu melindungi kami. Kami dengan tulus ikhlas telah membina hubungan yang intim dengan pada deva dan mudah-mudahan para deva memperpanjang hidup kami sehingga dapat hidup selamanya

Disini jelas sekali harapan tersebut ditumpukkan pada para deva, terutama dalam timbulnya keingina untuk hidup lama, kekayaan, kemakmuran dan bentuk keunggulan lain yang kiranya dapat diraih. Tentu semua ini bermanfaat jika semua anugerah tersebut dapat digunakan untuk tujuan kebaikan dan akan menjadi bumerang jika digunakan untuk ketidakbaikan.
Seperti biasa, setealah upacara Agnihotra berakhir disertai pula dengan ”Nagarasankirtana”, kalau dibali disebut ”Purwa Daksina”. Dimana berjalan mengelilingi pusat yajna dari arah Timur ke Selatan dengan mengucapkan Bumi Sukta atau Prthivi Sukta, Purusa Sukta dan Nasadiya Sukta. Sukta ini sering ini juga diganti dengan Maha Mantra atau bhajan atau kirtan atau dengan ista dewata tertentu untuk ikut serta hadir dan menganugerahkan rahmatnya kepada sang yajamana.

KESIMPULAN
Dari ulasan singkat diatas ternyata banyak manfaat langsung dan tidak langsung Agnihotra tersebut. Dapat dijelaskan beberapa efek yang berkaitan langsung dengan diri pribadi, terutama kalau kita berpegang dengan pelaksanaan agnihotra tersebut. Tradisi kuno pengetahuan Veda menjelaskan manfaat yang didapatkan dari Agnihotra (Paranjpe, Homa Therapy, the last chance, 1989) Antara lain :
  • Agnihotra membuat pelaksana yajna (yajamana) inteligensianya meningkat. Sel-sel otaknya berganti dengan yang baru. Terjadi penyegaran kulitnya, terjadi pembersihan pada darahnya. Bergairah dalam hidupnya.;
  • Agnihotra dapat menetralkan  serangan bakteri;
  • Banyak energi positif dan energi kesehatan yang keluar dari pelaksanaan Agnihotra ini;
  • Power kehidupan lahir dari api Agnihotra ini, hanya pada waktu itu dalam lingkaran tersebut ada banyak sekali kekuatan datang dari Agnihotra ini yang dapat merubah struktur dan formasi dari semua atom, sehingga semua substansi, bahan-bahan menjadi universal.
  • Agnihotra seperti sebuah magic. Ia merupakan daya tarik yajamana, sehingga mencengkramnya dan kemudian dia kelihatan bersinar (tejas)
DAFTAR PUSTAKA
Ir. W. Nilon Batan, Jro. Mangku. Made Mudita, Dewa : “lebih Jauh tentang AGNIHOTRA”, pesraman liang galang.

Rabu, 17 Januari 2018

Awighnam: Semoga Tiada Rintangan

Awighnam: Semoga Tiada Rintangan

Om Awighnamastu Namo Siddham merupakan kalimat yang sangat umum diucapkan saat akan memulai suatu pekerjaan apakah itu terkait aktifitas berfikir, berkata, maupun dalam tindakan fisik. Seperti para kawi yang menempatkan awighnamastu pada baris awal dalam berbagai lontar; Wrhaspati tattwa, Jnana tattwa, Buwana Kosa, kakawin Arjuna Wiwaha dan sebagainya. Awighnamastu menjadi doa singkat yang sangat penting bagi para kawi yang memerlukan bukan hanya konsentrasi namun juga karunia agar apa yang ditulis mendapat tuntunan, perlindungan dari segala halangan dan rintangan, dan memperoleh taksu siddhi yaitu daya kekuatan yang tersimpan dalam karyanya sehingga menjadi bertuah dan mampu mebius pembaca dari waktu kewaktu. Bahkan Mahabharata yang abadi telah ditulis langsung oleh ganesha sang pemberi anugrah sarwa siddha.
A=tidak, wighna=rintangan, astu=semoga. Huruf a dalam awighnamastu mengandung arti sebagai ketiadaan atau pertentangan dari kata berikutnya, dan astu berarti semoga demikian. Ajaibnya huruf a didepan kata wighna menyebabkan wighna (rintangan) menjadi sirna. Disini huruf "A” dipandang mengandung kekuatan yang meniadakan atau membakar wighna sehingga penempatan A diawal kata negatif hampir sama fungsinya dengan nir yang berarti nol, misalnya nirwighna berarti tanpa rintangan.
 
Rintangan (wighna) hidup memang tak dapat dihindari selama manusia hidup didunia, bahkan setelah meninggalpun (geguritan atma prasangsa) sang roh konon melewati berbagai rintangan yang mengerikan sebagai cermin prilaku yang bersangkutan selama hidup di dunia. Penderitaan manusia yang seolah tanpa akhir bersumber dari panca klesa, seperti yang disebutkan dalam Yoga sutra Patanjali 11.3: “Avidyasmita raga dvesaa bhinivesah klesah”, bahwa ada 5 penyebab penderitaan yang terdiri dari: 1. Awidya: Kebodohan. 2. Asmita: Keakuan. 3. Raga: Keterikatan. 4. Dwesa: Kebencian. 5. Abhiniwesa: Ketakutan akan kematian.

Wighna dan klesa sebenarnya bersumber pada diri sendiri akibat kebodohan, keakuan, keterikatan, rasa benci, dan ketakuatan akan kematian yang berlebihan. Kebodohan menyebabkan kebingungan, keakuan menimbulkan kesombongan, keterikatan menyebabkan keserakahan dan kesedihan, dan ketakutan menyebabkan hilangnya kesadaran. Setiap sikap dan tindakan dalam penyelesaian suatu persoalan akan berpengaruh pada persoalan berikutnya yang akan dihadapi. Pertimbangan yang tepat memerlukan kebijaksanaan pikiran yang disebut wiweka. Wiweka tidak sekedar melibatkan pengetahuan, pengalaman, kesabaran, tetapi yang lebih diperlukan adalan sinar suci Tuhan sehingga jalan terbaik akan diperoleh.

Salah satu kelemahan manusia adalah bahwa ia tidak mengetahui apa yang akan dihadapinya, sehingga hidup manusia bagaikan teka-teki yang tak berujung. Rintangan bak sebuah pertanyaan hidup yang harus dijawab dengan sebuah atau beberapa tindakan yang hasilnya serba ketidakpastian. Karena itu perjalanan hidup setiap orang memiliki variasi tersendiri tergantung apa tantangan yang dihadapi dan bagaimana ia menyikapinya dalam tindakan sehingga hasil akhir akan diperoleh.

Pandawa dan Korawa ketika diuji ole Gurunya Drona, untuk membidik sasaran seekor burung, mereka memberikan tangapan yang berbeda sesuai dengan fokus masing-masing. Yudistira melihat batang pohon secara utuh tempat burung itu bertengger, sedangkan Arjuna hanya melihat satu titik pada tubuh burung tersebut. Guru Drona kemudian memahami bahwa Arjunalah satu-satunya yang memiliki bakat memanah terbaik.

Seseorang sering gagal fokus tehadap apa yang dihadapi oleh karena begitu banyak pertimbangan yang mungkin bahkan tidak terlalu penting. Sehingga banyak waktu terbuang hanya untuk persoalan-persoalan kecil. Kita lupa apa yang menjadi fokus tujuan hidup yang sebenarnya yaitu moksartham jagadhita, seperti banyak dijelaskan dalam sastra kuno bahwa diri kita yang sejati yang merupakan perwujudan kesadaran (tutur) sedang dalam kondisi tidur (turu). Maka alpa dari yang sejati adalah penyebab dari persoalan hidup yang sebenarnya. Oleh sebab itu, Wighna terbesar manusia adalah ketika ia lupa dengan tujuan yang sejati sehingga menempuh jalan yang tak jelas ujung pangkalnya.

Dalam kenyataan hidup memiliki wiweka sangat diperlukan, untuk itu pengetahuan yang meningkatkan wiweka amat sangat diperlukan. Pengetahuan dapat diperoleh melalui Tri Premana (Pratyaksa, anumana, agama) yang melibatkan pengalaman langsung, melakukan analisa atas gejala yang ada dan meminta bantuan dari sumber yang terpercaya. Pengalaman dipandang sebagai guru yang paling utama, karena darinya pengetahuan utuh akan diperoleh. Pengetahuan inilah yang kemudian merupakan tongkat penuntun menuju pembebasan dari ikatan yang melekat pada manusia. Kesucian diri dan pengetahuan suci akan menuntun pada kesucian, oleh karena kesucian itulah menyebabkan tumbuhnya wiweka. Hal ini telah menjelaskan mengapa banyak para pertapa memilih hidup dalam pengasingan duniawi demi memperoleh pengetahuan pembebasan (moksa).

Bagi yang giat bekerja, Bhagawad Gita 11.47 menganjurkan bekerja tanpa ikatan akan hasil sebagai sarana pembebasan dipandang sebagai dharma yang tertinggi. Ketika kerja sebagai persembahan dari rasa bhakti yang mendalam, maka Tuhan akan memberikan karunia yang sama dengan para yogi yang jiwanya tidak terikat lagi oleh ikatan duniawi. Bagi seorang pekerja menjadikan Kerja, bhakti dan cinta kasih sangat diperlukan sebagai penghancur rintangan.

Bhakti perlu diwujudkan dengan suatu Sadhana yaitu praktek spiritual dari seorang bhakta. Sadhana mendekatkan manusia dengan Tuhan, seperti besi yang mendekat pada sebuah magnet, sehingga seolah besi itu adalah magnetnya. Seorang Bhakta yang tulus dan penuh pelayanan akan memperoleh karunia, kemampuan yang baik dalam menghadapi setiap persoalan hidup karena senantiasa dalam perlindungan dan tuntunan Tuhan. Sri Krishna dalam Gita IX. 22 menyatakan:
"Ananyas cintayanto mam
ye janah paryupasate
tesham nityabhiyuktanam
yoga-ksemam vahamyaham"

Terjemahan:
Tetapi, mereka yang memuja-Ku dan hanya bermeditasi kepada-Ku saja, kepada mereka yang senantiasa gigih demikian itu, akanAku bawakan segala apa yang belum dimilikinya dan akan menjaga apa yang sudah dimilikinya.

Namun kenyataanya manusia lebih sering lupa mendekatkan diri dengan Tuhan saat dalam kondisi nyaman. Namun sebaliknya akan begitu dekat ketika persoalan berat sedang ia hadapi. Tuhan menjadi tempat terakhir untuk mengadu, dan memohon solusi atas hambatan yang dihadapi. Seorang bhakta yang baik akan melaksanakan sadhana dalam kondisi apapun. la selalu waspada dan percaya sepenuhnya bahwa Tuhan mengendalikan hidupnya. Pada umumnya Tuhan di puja dalam berbagai perwujudan atau manifestasi Dewa-Dewi sesuai dengan karma si penyembah.

Dalam berbagai pustaka Hindu, Ganesha adalah dewa ilmu pengetahuan, penghancuran segala awidya, kegelapan pikiran, dan segala rintangan. Pemujaan Ganesa bertujuan untuk mendapatkan tuntunan Tuhan dalam mengembangkan hidup yang bijaksana. Kemampuan menghadapi tantangan dan mengembangkan kebijaksanaan, sebagai langkah awal untuk meraih hidup yang damai dan sejahtera di bumi ini. Dalam Ganashtakam disebutkan:
Sarva vighna haram devam sarva vighna vivarjitham,
Sarva sidha pradatharam, Vandeham Gana Nayakam.
Terjemahan:
Penghormatan Ganesha yang merupakan pemimpin ganas yang menghilangkan segala rintangan, Dia yang meniadakan semua jenis hambatan, dan Dia yang memberkati seseorang dengan segala prestasi.

Dengan memuja Ganesha diharapkan segala rintangan dan hambatan (wighna) ditiadakan sehingga segala keberhasilan dan kesuksesan diperoleh (sarwa sidha). Permohonan ini menunjukkan bahwa penting bagi seorang bhakta memberikan pujian pada Tuhan seta mengungkapkan rasa takutnya akan hambatan hidup dan mengakui bahwa ia memerlukan bantuan Tuhan (Ganesha) untuk menghalau segala rintangan serta berkat kesuksesan didalam kehidupanya. Wighna yang ingin dijauhkan, siddha yang ingin diperolah (Awighnam astu namo siddham).

Awighnamastu adalah sebuah doa dengan harapan agar segala rintangan yang dhadapi ditiadakan demi lancamya suatu aktifitas yang meliputi pikiran, perkataan dan tindakan sehingga memperoleh sarwa Siddha yaitu segala macam keberhasilan.

Oleh: Gde Adnyana
Source: Majalah Wartam, Edisi 31, September 2017

Senin, 15 Januari 2018

Dimensi Religi Ngayah

Dimensi Religi Ngayah

Kerja adalah wujud cinta. Bila kita tidak dapat bekerja dengan kecintaan, tapi hanya dengan kebencian, lebih baik tinggalkan pekerjaan itu. Lain duduklah di gerbang rumah ibadat dan terimalah derma dari mereka yang bekerja penuh suka cita (Kahlil Gibran).

Ngayah menjadi jiwa dalam tindakan keagamaan, kata yang anggun, santun “tiang ngayah” mendamaikan hati dan pikiran. Masihkan ngayah menjadi pundi dan panji kehidupan beragama, sosial dan budaya?. Dibutuhkan internalisasi kesadaran ngayah bukan sekedar tiket menggapai surgawi, tapi melepaskan segala bentuk keterikatan padanya. Ketika ngayah masih dilekatkan pada egoisme, mencari untung, material oriented di jenjang ini kita harus melompat melampaui semua itu bahwa Sang Penguasa atas kerja adalah Hyang Widhi. Masihkah kita mengeluh, ngeduman ketika kerja di nilai dan di hargai tidak sesuai dengan harapan kita. Semasih ketidaktulusiklasan itu melekat, maka bola indah karma itu tidak akan terbang melambung lepas di alam nirvana.

Kepuasan batin tidak akan bisa diukur dengan material dan kucuran keringat ngayah adalah pangruwat klesa pada raga untuk jalan membuka lentera nurani. Panah Arjuna tidak bisa lepas karena kemelekatannya pada hal yang bersifat jasmani. Di titik material kita butuh untuk kelangsungan hidup, namun terjebak dan terikat padanya membuat terjatuh, maka pikiran harus bisa membebaskan kebelengguan ngayah harus di bayah. Wiwekananda menegaskan bahwa “rahasia terbesar dari kemenangan sejatai (true success) adalah seseorang yang tidak mengharapkan sesuatu sebagai balasannya, orang sempurna yang tidak mengutamakan diri adalah yang paling berhasil dan paling beruntung dalam dunia ini”.

Dimensi religius ngayah, jangan meminta sesuatu, jangan menghendaki sesuatu sebagai balasan, berikan kekuatan jasmani dan rohani dalam hubungan dengan Hyang Widhi, degan sesama dan dengan semesta ini. Jangan dipikirkan kembalinya itu sekarang, dia akan datang kembali dengan ribuan kali banyaknya, tetapi yang paling fokus adalah perhatian tidak tercurahkan pada hasilnya sebagaimana Bhagawadgita menyebutkan "mayi sarvani karmani, samnyasya bhutva, yudhyasva vigatajvrah".

Artinya serahkanlah segala pekerjaan kepadaKu dengan memusatkan pikiran kepada Atma, melepaskan diri dari pengharapan dan perasaan keakuan dan berperanglah kamu, bebaskan pikiranmu dari yang susah.

Religius ngayah adalah pemahaman ke dalam diri bahwa mereka yang dibayangi oleh guna dari prakerti akan terikat pada pekerjaan dari guna tersebut. Akan tetapi ia yang sempurna pengetahuannya dalam mengetahui semuanya. Atma pada dasarnya adalah murni, suci, bebas abadi dan mempunyai kesadaran sendiri. Manunggalnya dengan prakerti menimbulkan kelupaan pada keadaan diri yang sebenamya yang akhimya menimbulkan ego, ahamkara, ini adalah karya prakerti. Keadaan inilah yang membuat manusia berbuat, berlaksana atas dorongan dari alam.

Jiwa dalam kelupaan pada keadaan dirinya yang sebernarnya harus mendapat tuntunan perlahan kearah kesadaran diri dan pembebasan dari ikatan. Menurut Samkya ajaran pembebasan diri dari ikatan prakerti dimana penarikan purusa dari prakerti dengan meniadakan gerak sama sekali dengan jalan yoga. Namun disisi lain Bhagawadgita mengajarkan berlaksana, bekerja, menyerahkan diri pada Hyang Widhi, tidak mengikatkan diri pada keuntungannya. Pelaksanaan demikian inilah yang dapat menuntun pembebasan diri dari ikatan.

Dalam ngayah kendalikan diri dari kecenderungan untuk membuat tunas keakuan, jangan biarkan pikiran memasuki lorong kegelapan dan keakuan itu. Ngayah mengajarkan pada kita supaya menikmati keindahan segala gambaran didunia, tetapi jangan kita mempersamakan diri dengan salah satu di antaranya bahwa “ini milikku, ini punyaku”. Lihatlah daun teratai di air, air tidak dapat melekat dan membasahinya, lihatlah pohon besar selalu memberikan kesejukan dan makanan bagi penghuninya begitulah seharusnya ngayah. Masuklah dalam dunia ngayah pelajari dan hayati rahasia kerja. Sekali lagi Wiwekananda berkelakar “bicara saja tak ada gunanya. Burung beo pun bisa berbuat itu. Kesempumaan dapat dicapai dengan jalan melakukan tindakan yang bebas dari kepentingan diri sendiri”.

Ngayah adalah jalan hayu dan sebagai ajaran karma yoga bersifat mutlak dan berlaku universal yang menjadi penerang batin umat Hindu sebagai hukum sebab akibat. Maka dari itu Mpu Kanwa dalam kakawin Arjuna Wiwaha menekankan pentingnya ajaran karma yoga sebagai spirit untuk dapat berprilaku bajik untuk mendapatkan kerahayuan “Syapa kari tan temung hayu masadhana sarwa hayu, nyyata katemwaning hala masadhana sarwa hala, tewas alisuh manangsaya purakreta tinut, sakaharepan kasidha maka darsana pandusuta” Artinya siapakah tidak menemukan kerahayuan bila telah bersadanakan segala kebajikan, pasti mendapat celaka, ia yang bersadanakan segala yang buruk, bahaya bila menyangsikan ajaran karma yang purba ini, lalu apa lagi yang patut dianut, segala harapan akan berhasil bila meniru (laku tapa) Sang Arjuna.

Hakekat dari ngayah itu adalah cinta kasih, tiap perbuatan kita serahkan pada Hyang Widhi dan penyerahan diri pada saat ngayah adalah penyucian. Pelaksanaan penyucian jiwa di dalam ngayah dengan totalitas penyerahan diri dan pelayan pada Hyang Widhi, dengan jalan ini jiwa dapat bebas dari ikatan ego. Cinta kasih, ketulusiklasan sebagai landasan ngayah sebagai daya penggerak dalam kerja, cinta kasih itu tiada lain adalah Hyang Widhi. Sabda Sri Krsna “pada mereka yang menyembah aku dengan cinta kasih, mereka ada dalamKU dan Aku ada di dalam mereka”. Bahwa cinta kasih dalam ngayah yang terfokus dapat mengubah jiwa umat Hindu untuk bisa lepas dari belenggu keterikatan dan menggugah hatinya untuk menuangkan air jernih kebajikan sehingga bayangan matahari dan bulan akan lebih jelas terlihat dalam nurani yang suci bersih.
Oleh: I Nyoman Dayuh
Source: Majalah Wartam, Edisi 32, Oktober 2017

Perilaku Hidup Bersih dan Sehat di Pura

Perilaku Hidup Bersih dan Sehat di Pura

Perilaku merupakan faktor utama yang mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat. Banyaknya masalah kesehatan yang terjadi di Indonesia, akar permasalahannya adalah ketidakmampuan masyarakat untuk ber-Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS). PHBS mencakup lima tatanan yaitu PHBS tatanan di Rumah Tangga, tatanan di sekolah, tatanan di institusi kesehatan, tatanan tempat kerja serta tatanan di tempat-tempat umum (TTU). PHBS merupakan salah satu komponen Desa dan Kelurahan Siaga Aktif. Desa dan Kelurahan Siaga Aktif adalah desa yang penduduknya dapat mengakses dengan mudah pelayanan kesehatan dasar, terbina dan berkembangnya Upaya Kesehatan Berbasis Masyarakat (UKBM) dan masyarakatnya mampu ber-PHBS.

Penularan penyakit dapat terjadi di tempat-tempat umum karena kurang tersedia air bersih dan jamban, kurang baiknya pengelolaan sampah dan air limbah, kepadatan vector berupa lalat dan nyamuk, kurangnya ventilasi dan pencahayaan, kebisingan dan lain-lain. Tempat-tempat umum yang tidak sehat dapat menimbulkan berbagai penyakit, yang selanjutnya dapat menurunkan kualitas sumber daya manusia.

Penyakit yang banyak terjadi di tempat – tempat umum antara lain Diare, Demam Berdarah, Keputihan, infeksi saluran pernafasan akut serta penyakit – penyakit lain akibat terpapar asap rokok, seperti : penyakit paru-paru, jantung dan kanker. Sekitar 55% sumber penularan penyakit Demam Berdarah terjadi di tempat-tempat umum, oleh karena itu tempat-tempat umum perlu menjadi perhatian utama dalam pemberantasan penyakit. Terjadinya penyakit-penyakit tersebut disebabkan lingkungan yang buruk dan perilaku yang tidak sehat seperti tidak menggunakan air bersih, membuang sampah sembarangan, membiarkan air tergenang dan kebiasaan merokok di tempat umum.

Salah satu aplikasi dan perbuatan baik (subha karma) secara etimologi adalah Tri Kaya Parisudha (bahasa Sanskerta) dari kata Tri berarti tiga, Kaya berarti perbuatan/ perilaku dan Parisudha berarti (amat) disucikan. Adapun rinciannya (Tri Kaya Parisudha) terdiri dari :
a. Manacika, yaitu berpikir yang bersih dan suci
b. Wacika, yaitu berkata yang baik, sopan dan benar
c. Kayika, yaitu berperilaku yang jujur, baik dan benar

Perilaku yang baik dan benar dalam memelihara dan meningkatkan kesehatan disebut dengan PHBS (Perilaku Hidup Bersih dan Sehat). Hidup sehat dalam pandangan agama Hindu dapat diwujudkan dengan adanya kesatuan yang harmonis antara manusia dan alam lingkungan (palemahan), manusia dengan manusia lainnya (pawongan) dan manusia dengan sang pencipta (parahyangan) sesuai dengan pedoman Tri Hita Karana. Dengan menerapkan Tri Hita Karana diharapkan manusia dapat mencapai kesejahteraan jasmani, rohani, sosial, spiritual dan menjaga serta memelihara kesehatan lingkungan.

Walaupun banyak pedoman yang terkait kesehatan dalam kitab-kitab suci agama Hindu, namun masalah kesehatan umat Hindu umumnya cukup kompleks, menyangkut pengetahuan, sikap dan perilaku. Derajat kesehatan senantiasa harus ditingkatkan atau dipromosikan sehingga kita terhindar dari penyakit, oleh karena mencegah lebih baik daripada mengobati penyakit. Dengan menerapkan PHBS secara terus menerus maka akan menjadi suatu kebiasaan, sehingga kita mampu memelihara kesehatan dan terhindar dari penyakit.

PHBS sangat penting disosialisasikan, disebarluaskan dan diterapkan dimana di tempat tersebut berkumpul banyak orang. Pura adalah tempat yang efektif dan efisien untuk memberikan informasi-informasi kesehatan, dimana pura juga merupakan tempat berkumpulnya umat dalam rangka beribadah juga dalam rangka mendapatkan informasi-informasi penting dari tokoh-tokoh masyarakat yang dipercaya dan disegani.

Keberhasilan pembinaan PHBS dapat dilihat dari pencapaian upaya-upaya yang dilakukan di pusat, provinsi, kabupaten, kota, kecamatan, desa, kelurahan dan di berbagai tatanan lain.

Terwujudnya tatanan pura yang ber-PHBS dengan indikator sebagai berikut :
1. Mengenakan busana/ pakaian yang bersih, rapi dan sopan
Pada saat kita memasuki areal pura sudah tentu kita menampilkan penampilan yang terbaik mulai dari cara berpikir, berkata dan berperilaku yang sopan, baik dan benar.
Berpakaian bersih maksudnya terbebas dari segala kotoran dan bau yang tidak sedap, rapi artinya sesuai dengan peruntukan, wajar dan tidak berlebihan, serta sopan artinya berbusana sesuai dengan situasi dan tempat, berbusana yang pantas, tidak menimbulkan reaksi negatif orang lain dan tidak mempertontonkan tubuh atau menjadikan diri pusat perhatian.

2. Mencuci tangan dengan sabun pada air bersih yang mengalir
Mencuci tangan adalah membersihkan tangan dari segala kotoran dimulai dari ujung jari sampai siku dan lengan dengan cara tertentu sesuai kebutuhan, dengan tujuan membebaskan tangan dari kuman dan mencegah kontaminasi, mencegah atau mengurangi penyakit infeksi. Mencuci tangan ini dilakukan sebelum mengawali persembahyangan di pura atau pada saat melakukan kegiatan lain di pura.
Doa sehari-hari membersihkan tangan “ Om ang agrha dwaya namah “ yang artinya Oh Hyang Widhi semoga kedua tangan hamba bersih.

3. Menggunakan jamban sehat
Setiap pura diharapkan memiliki sarana buang air kecil (BAK) atau buang air besar (BAB) atau jamban yang bersih. Ditempatkan pada areal jaba pura atau Nista Mandala dimana Nista Mandala adalah halaman yang bebas yang bisa dipakai untuk dapur umum, kamar mandi/ WC, tempat parkir kendaraan, tempat istirahat dan lain-lain.

4. Membuang sampah pada tempatnya dan ada pemilahan sampah
Meningkatnya jumlah sampah setelah piodalan atau hari-hari raya Hindu akan menimbulkan masalah kesehatan jika tidak tertangani dengan baik. Kebiasaan membuang sampah sembarangan baik di dalam pura maupun di luar pura misalnya di areal parkir, sepanjang jalan dan got-got serta sampah setelah piodalan akan membuat pura kelihatan kotor, jorok dan bau. Sampah plastik terutama dapat menyebabkan kerusakan lingkungan. Hal ini dapat memunculkan masalah dalam penanganan kebersihan dan membuat image buruk bagi umat Hindu. Salah satu unsur Tri Hitta Karana menjaga hubungan manusia dengan lingkungan belum diaplikasikan secara optimal.

Cara yang bisa dilakukan untuk menjaga kebersihan pura antara lain menyediakan tempat sampah sesuai jenis sampah. Umat/ pengunjung pura diharapkan ikut bertanggung jawab untuk mendukung kebersihan pura antara lain mengambil canang/ bunga sehabis sembahyang dan membuangnya pada tempat sampah yang telah disediakan.

5. Tidak merokok dan tidak mengkonsumsi Narkoba di pura
Pendekatan melalui bahasa agama dapat meningkatkan kesadaran dan kewaspadaan generasi muda terhadap bahaya penyalahgunaan narkoba dan bahaya rokok. Masalah rokok dan penyalahgunaan obat terlarang menuntut peningkatan peranan para pemuka agama, guru agama dan penyuluh agama untuk memberikan bimbingan, penyuluhan dan motivasi melalui pendekatan bahasa agama Hindu tentang bahaya narkotika dan obat-obat terlarang lainnya. Agama Hindu mengajarkan umatnya untuk selalu berpegang teguh pada Dharma, siapa yang dapat hidup sesuai dengan Dharma ia akan selamat, bahagia dan damai selamanya. Demikian pula sebaliknya jika perbuatan itu melanggar Dharma maka penderitaan hasilnya dan itu pasti. Sesuai dengan Perda Kawasan Tanpa Rokok yang diterapkan di provinsi Bali No.10 Tahun 2011 maka pura merupakan salah satu kawasan tanpa rokok (KTR). Kawasan Tanpa Rokok di pura di laksanakan pada kawasan nista mandala, madya mandala dan utama mandala.

6. Tidak meludah sembarangan
Pada prinsipnya apa saja yang keluar dari badan manusia di pura adalah “leteh” misalnya ludah, kencing, ingus, darah, keringat dan air susu. Jika dalam keadaan terpaksa hanya boleh dilakukan di Nista Mandala (areal paling luar pura). Sebelum sembahyang sebaiknya juga dilakukan kumur-kumur agar mulut bersih. Doa sehari-hari untuk berkumur adalah “ Om Jang jihwa ya namah “ yang artinya Oh Hyang Widi semoga mulut (lidah) hamba bersih.

7. Memberantas jentik nyamuk
Penyakit demam berdarah disebabkan oleh virus dengue yang penularannya dari satu orang ke orang lain dengan perantara nyamuk aedes agepty. Dalam lontar disebutkan “ Adhibhautika “ yaitu penyakit yang disebabkan oleh binatang/ mahluk lain yang menyerang tubuh yaitu virus lewat perantara gigitan nyamuk aedes agepty. Untuk memberantas nyamuk ini, tidak cukup hanya dengan fogging tapi harus disertai dengan PSN (pemberantasan sarang nyamuk).

8. Pengelolaan pura yang bersih, rapi dan asri dan menjaga kebersihan lingkungan, sarana dan prasarana pura
Di dalam melaksanakan persembahyangan kondisi pura harus bersih dan asri sehingga umat yang melaksanakan persembahyangan terasa tenang, hening secara lahir dan bathin. Pura yang bersih adalah pura yang llingkungan, sarana dan prasarananya terbebas dari kotoran, debu dan sampah. Sedangkan pura yang rapi dan asri adalah pura yang tertata serasi antara bangunan, taman dan prasarana lainnya, ada
penghijauan dari tanam-tanaman yang bermanfaat bagi proses keagamaan. Kosep Tri Hitta Karana sangat tepat dilaksanakan di pura.

9. Mencegah hewan berkeliaran di lingkungan pura
Mencegah hewan piaraan berkeliaran di lingkungan pura perlu diperhatikan karena mempengaruhi kesehatan. Jenis hewan piaraan yang sering kita lihat berkeliaran di lingkungan pura misalnya anjing, kucing, unggas dll. Dihimbau kepada warga yang memelihara hewan piaraan tinggal di sekitar pura untuk selalu menjaga hewannya agar tidak memasuki area pura dimulai dari wilayah nista mandala, madya mandala sampai dengan utama mandala.

10. Penyiapan dan penyimpanan tirta menggunakan air bersih dalam wadah tertutup dan memercikkan tirta dengan menggunakan alat pemercik tirta.
Alat pengetisan “tirta” sedapat mungkin memakai alang-alang yang masih segar dan bersih, jangan dipakai berulang-ulang sampai mingguan, jangan direndam pada tirtha, bila sudah kering harus diganti dengan yang baru.
Bila memecikkan tirtha dengan kembang harus kembang katihan yang ada tangkainya dan dipegang tangkainya, jangan tidak ikut masuk ke tirtha.
Tangan yang memetikkan tirtha harus bersih dan sehat, kuku – kuku harus bersih, pakaian bersih dan rapi.

11. Diupayakan para pandita dan pinandita menjaga kebersihan diri dan melakukan pemeriksaan kesehatan di layanan kesehatan secara berkala /sewaktu-waktu bila diperlukan
Pola Hidup Bersih dan Sehat pada aspek niskala dapat digambarkan sebagai kesucian atman (jiwa/ rohani), pikiran dan akal (budi) yang diperoleh dari upaya yang terus-menerus mempelajari dan melaksanakan ajaran-ajaran Agama Hindu dalam kehidupan sehari-hari (kehidupan spiritual) dengan menekankan pada keyakinan yang kuat adanya Hyang Widhi.

Kehadiran para Pandita dan Pinandita dalam pelaksanaan setiap upacara keagamaan di pura sangatlah vital. Oleh karenanya sangat penting untuk memperhatikan kesehatan pada Pandita dan Pinandita agar beliau senantiasa siap untuk melayani umat Hindu baik dalam pelaksanaan upacara yadnya di Pura maupun dalam pelaksanaan tugas-tugas lainnya. Pandita dan pinandita harus diupayakan memiliki jaminan pemeliharaan kesehatan sebagai tanda terima kasih umat kepada pendeta atau pemimpin upacara keagamaan karena beliau telah menyelesaikan upacara yadnya. Di samping mentaati dan mengamalkan ajaran orang-orang suci, membantu segala usaha para Sulinggih, turut memajukan pendidikan terutama di bidang keagamaan, membangun tempat pemujaan untuk orang-orang suci atau sulinggih, semuanya itu juga termasuk pelaksanaan Rsi Yadnya.

12. Mengkonsumsi makanan/ jajanan bersih, sehat di kantin pura. Kantin pura sebaiknya menyediakan makanan yang bersih dan sehat serta memperhatikan kaidah gizi seimbang
Dalam ajaran Panca Nyama Brata (lima cara pengendalian untuk mencapai kesucian dan kesempurnaan batin) disebutkan tentang pengaturan cara makan yang disebut Aharalagawa yang artinya makan secukupnya (tidak berlebihan, tidak kekurangan dan tidak berfoya-foya). Begitu besarnya pengaruh makanan sehingga harus diatur agar dapat meningkatkan spiritual dan mencapai kesucian serta kesempurnaan batin.

Sumber : Pedoman PHBS di Pura (PHDI Pusat)