Satyam, Siwam, Sundharam

Selasa, 22 Mei 2018

Survey Toko Amertha

Survey Toko Amertha




Om Swastiastu,

Dalam rangka peningkatan pelayanan Toko Amertha kepada umat pengempon Pura Angkasa Amertha Dharma Jati / Tempek Parung, maka kami melakukan survey keperluan rutin yang akan dikelola Toko Amertha / Koperasi Pura.

Mohon dapat mengisi survey ini untuk bahan masukan kepada kami / pengurus.

MULAI SURVEY

Matur suksma

Om Shantih Shantih Shantih Om

Senin, 26 Maret 2018

Kegiatan Saka Yoga Festival dan Tirta Yatra

Kegiatan Saka Yoga Festival dan Tirta Yatra

Cibubur- Minggu (25/3) dalam rangka Hari Raya Nyepi Tahun Baru Saka 1940 dilaksanakan Saka Yoga Festival yang dihadiri oleh Menteri Kesehatan RI Nila F. Moeloek. Kegiatan ini juga menunjang program Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (Germas) Kementerian Kesehatan, terutama implementasi aktivitas fisik masyarakat.

"Dalam hal ini kesehatan fisik dan spiritual harus terjaga.  Kegiatan Saka Yoga Festival dalam rangka hari raya Nyepi ini diharapkan dapat menjadi sarana untuk mereformasi diri kita agar menjadi semakin baik. Pelaksanaan yoga ini lebih digiatkan lagi kepada seluruh lapisan masyarakat yang terutama adalah keluarga. Dengan demikian dapat mendorong pelaksanaan yoga yang maksimal dan masif sehingga hasilnya dapat benar-benar dirasakan oleh masyarakat dan setiap individu untuk menjadi insan yang lebih baik,” ungkapnya.

Gerakan yoga dimaksudkan untuk membudayakan perilaku hidup sehat guna meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Aktivitas fisik yang tepat, terukur dan teratur diharapkan akan menyehatkan bukan hanya fisik, melainkan juga mental spiritual masyarakat. Menteri Nila berharap agar peran serta masyarakat dalam kegiatan di bidang kesehatan, utamanya promotif, preventif, termasuk Germas akan semakin meningkat di masa mendatang.

Germas adalah bagian dari upaya promotif-preventif guna mengubah pola pikir (mindsetting) dari paradigma sakit menjadi paradigma sehat. Upaya ini akan berhasil jika semua elemen masyarakat turut mensukseskannya, dan memberikan teladan bagi masyarakat di lingkungan kita dengan berperilaku sehat. “Sebab kesehatan adalah anugerah Tuhan yang sangat berharga. Oleh karena itu harus selalu kita jaga dan pelihara dengan sungguh-sungguh sepanjang hidup kita.

Kegiatan ini didukung oleh kurang lebih 2000 Peserta yang berasal dari umat Hindu di sekitar Jabodetabek. Di dukung oleh puluhan Instruktur Yoga dari Seruling Dewata. Dalam kesempatan ini  78 siswa yang berasal dari Pasraman Ganesha Brahmachari Ashram dan Pura Angkasa Amertha Dharma Jati pun ikut meramaikan acara Saka Yoga Festival ini. Sekitar pukul 05.00 WIB mereka bersiap berangkat menuju ke lokasi yoga yaitu lapangan Kempa I Garuda Bumi Perkemahan dan Wisata Pramuka (Buperta), Cibubur, Jakarta Timur.

Sesampainya dilokasi, para siswa dan orang tua langsung registrasi serta menempati posisi masing-masing,  tak lupa menggunakan matras sebagai alas. Para peserta sangat antusias mendengarkan instruksi dari Instruktur Yoga. Diawali Pavana Muktasana sebagai gerakan awal pemanasan dalam yoga.
Selanjutnya para peserta melakukan Gerakan Surya Namaskar dan Candra Namaskar. Perlu diketahui bersama bahwa Chandra Namaskar adalah refleksi dari Surya Namaskar (Penghormatan kepada Matahari), bulan tidak memiliki cahaya sendiri tetapi memantulkan sinar matahari. Urutan asana sama dengan Surya Namaskar kecuali Ardha Chandrasana dilakukan setelah Ashwa Sanchalanasana. Chandra Namaskar paling baik dipraktekkan di malam hari, terutama saat bulan terlihat. Sementara berlatih di malam hari, pastikan perut dalam keadaan kosong.
Chandra Namaskar membantu kita menghubungkan diri dengan Energi Bulan, yang memiliki sifat sejuk, santai, dan berseri. Chandra Namaskar juga memperkuat tulang belakang, paha belakang, dan punggung kaki; memperkuat otot kaki, lengan, punggung, dan perut. Seperti semua praktek yoga lainnya, penting bahwa ketika Anda belajar Chandra Namaskar harus di bawah pengawasan dan bimbingan. Serta diperlukan Persiapan Sebelum Melakukan Yoga.
Beberapa pose kombinasi diinstruksikan antara lain Garudasana dan Dhanurasana. Pose yoga Dhanurasana mampu merenggangkan otot perut dan meningkatkan fleksibilitas tubuh, terutama tulang punggung. Pose ini memiliki efek menenangkan di seluruh tubuh. Dengan melakukan pose yoga ini, lemak di perut dan punggung juga berkurang.
Teriknya sinar matahari tidak membuat surut semangat para peserta mengikuti instruksi yang disampaikan oleh Instruktur. Hingga akhirnya relaksasi dilakukan. Para peserta mengikuti kegiatan ini mendapatkan banyak manfaat  selain kesehatan dan kebugaran juga mendapatkan pengetahuan baru tentang pose yoga yang belum pernah dilakukan dilingkungan pura masing masing.  Selain itu pengetahuan tentang apa saja yang harus dipersiapkan sebelum melakukan yoga.

Selain mengikuti kegiatan Yoga massal ini, siswa Pasraman Ganesha Brahmachari Ashram juga lagsung melaksanakan tirta yatra ke Pura Penataran Agung Kertha Bumi Taman Mini Indonesia Indah. Disana mereka disambut oleh pengurus pura dengan ramah. Dengan diiringi hujan deras pinandita memimpin persembahyangan bersama, iringan genta dan lantunan mantra menambah suasana semakin kidmat. 

Mengunjungi tempat suci atau tirta yatra merupakan sebuah bhakti siswa Hindu. Selain memupuk kecintaan para siswa terhadap tempat suci Hindu juga menumbuhkan rasa kebersamaan antar siswa dengan umat Hindu di wilayah lain.

"Kita melaksanakan Yoga di Cibubur untuk menjaga kesehatan Jasmani sedangkan dengan kegiatan Tirta Yatra ini  kita menjaga kesehatan rohani. Sehingga lengkap sudah" tandas Paryanto,S.Ag pada saat menyampaikan sambutannya. 

Menurut dia, Yoga sudah menjadi kegiatan rutin bagi siswa Pasraman Ganesha. Kegiatan Yoga dilakukan setiap minggu ke 4. Sedangkan kegiatan Tirta Yatra ini akan menjadi program tahunan yang dilakukan. (ary).

Kamis, 22 Maret 2018

Konsep Catur Yoga sebagai Dasar Pemujaan

Konsep Catur Yoga sebagai Dasar Pemujaan

Apakah arti memuja itu? Apakah pemujaan itu sekedar menangkup tangan, atau sekadar mengucapkan doa dan lagu pujian? Ataukah sekadar memikirkan tentang Tuhan. Apakah pemujaan itu berarti penghormatan yang mungkin bersifat duniawi? Hal ini tidak pernah dijelaskan dengan tepat. Sekadar sujud saja belum berarti memuja. Begitu pula sekadar menyanjung dalam lagu dan nyanyian belum tentu memuja. Banyak nyanyian yang kita dengar dalam upacara keagamaan atau dalam kehidupan kita sehari-hari. Apakah itu termasuk pemujaan atau bukan?

Manusia melagukan nyanyian-nyanyian tentang kebahagiaan, tentang cinta, tentang penderitaan. Semuanya adalah kata hati yang digambarkan. Kita melagukan kebesaran Tuhan, berarti kita menyanyikan tentang kemuliaan Tuhan. Pendeknya banyak yang kita dengar dan kita lakukan. Kita menghormati dan sujud kepada orangtua, kita hormat kepada para pendeta. Semuanya juga berarti macam-macam. Untuk memperingati atau menghormati jasa seseorang kita mencontoh dan menggambarkan semua perjuangan atau tingkah laku orang yang kita agung-agungkan itu. Hal ini merupakan penghormatan atau pemujaan. Bahasa manusia terlalu terbatas untuk menggambarkan arti kata pemujaan yang sebenarnya. Yang terpenting dalam pemujaan adalah sifat menyerahkan diri sepenuh hati kepada yang dipuja. Jadi sifat bhakti dan dengan menghubungkan diri kepada yang dipuja.

Hindu memberikan penjelasan tentang dasar mengapa harus menghubungkan diri dengan Tuhan. Dalam Kitab Manu Smrti dikemukakan :

"Pikiran yang kotor dan tidak baik harus diperbaiki dan disucikan dengan membaca-baca mantra atau kitab-kitab Veda. Badan yang kotor harus dibersihkan dengan jalan mandi. Benda-benda yang kotor harus dibersihkan dengan air, api atau benda-benda pensuci lainnya. Perkataan yang kotor harus diganti, dan belajar berkata-kata yang baik, kata-kata halus dan budi bahasa yang baik. Mereka yang dalam keadaan suci seperti inilah yang dikatakan layak bersembah bakti pada Tuhan"

Dengan kata lain ketentuan itu wajib sifatnya dan karena itu orang yang tidak memenuhi syarat doanya akan sia-sia saja, karena yang Maha Suci, Tuhan hanya terjangkau oleh sifat kesucian dan kebajikan manusia penyembahnya sendiri, sesuai menurut aturan yang telah ditentukan (Rg. Veda IX.73.6).

Svāmī Harshānanda dalam bukunya yang berjudul Deva-Devi Hindu, menyatakan bahwa konsep Tuhan Hindu memiliki dua gambaran khas, yaitu tergantung pada kebutuhan dan selera pemuja-Nya. Dia dapat dilihat dalam suatu wujud yang mereka sukai untuk pemujaan dan menanggapinya melalui wujud tersebut. Dia juga dapat menjelmakan Diri-Nya di antara makhluk manusia untuk membimbingnya menuju kerajaan Kedewataan-Nya. Penjelmaan ini merupakan suatu proses berlanjut yang mengambil tempat di mana pun dan kapan pun yang dianggap-Nya perlu. Kemudian ada aspek Tuhan lainnya sebagai Yang Mutlak, yang biasanya disebut sebagai “Brahman”; yang artinya besar tak terbatas. Dia adalah ketakterbatasan itu sendiri. Namun, Dia juga bersifat immanent pada segala yang tercipta. Dengan demikian tidak seperti segala yang kita kenal bahwa Dia menentang segala uraian tentang-Nya. Telah dinyatakan bahwa jalan satu-satunya untuk dapat menyatakan-Nya adalah dengan cara negatif: Bukan ini! Bukan ini! Jadi untuk sekadar memuaskan pikiran manusia yang terbatas, untuk menggambarkan yang tak terbatas, pikiran manusia yang terbatas perlu dijelaskan untuk memuaskannya, yaitu pertanyaan mendasar tentang siapakah yang dimaksud dengan Tuhan itu? Jawaban atas pertanyaan ini merupakan dasar dalam pemberian definisi tentang Tuhan. Walaupun pendefinisian tentang Tuhan tidak mungkin, namun untuk keperluan praktis dalam pembahasan ini difinisi Tuhan diperlukan sebagai titik tolak berpikir. Kesulitan dalam memberi definisi karena suatu definisi yang baik harus benar-benar memberi gambaran yang jelas dan lengkap, sedangkan Tuhan mencakup pengertian yang luas dan serba mutlak. Untuk pertama kali definisi tentang Tuhan dijumpai dalam kitab Brahma Sūtra I.1.2 sebagai berikut.

“Janmādyasyayatah”

Terjemahannya.
“(Brahman adalah yang Maha Tahu dan penyebab yang Maha Kuasa) darimana munculnya asal mula dan lain-lain, (yaitu pemeliharaan dan peleburan) dari (dunia ini)”.

Lalu bagaimana cara menghubungkan diri dengan Tuhan menurut Hindu? Menghubungkan diri artinya melakukan Yoga. Yoga berasal dari kata Yuj dan dari kata itu kemudian lahir kata yoga. Cara melakukan hubungan inilah yang disebut sembahyang, atau memuja menurut bahasa Sansekerta.

Kitab Rg. Veda X.71. mengemukakan ada empat jalan atau cara yang dapat dilakukan oleh manusia untuk sampai kepada Tuhan. Keempat cara atau jalan (Marga) itu disebutkan sebagai berikut.
a. Dengan cara menyanyikan lagu-lagu pujaan.
b. Dengan cara mempelajari dan mengenal Tuhan kemudian mengajarkannya.
c. Dengan cara melakukan yajna dan memenuhi aturan yang digariskan.
d. Dengan cara membaca doa-doa mantra.
Keempat cara itulah yang mula-mula telah dikemukakan yang lazim dilakukan oleh orang-orang pada waktu itu. Dari ajaran itu kemudian dikembangkan menjadi beberapa marga (yoga) yang kita kenal berikut ini.

1. Ajaran Bhakti Marga (Yoga)
Bhakti merupakan kasih sayang yang mendalam kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang merupakan jalan kepatuhan atau bhakti. Bhakti Yoga disenangi oleh sebagian besar umat manusia. Tuhan merupakan pengejawantahan dari kasih sayang, dan dapat diwujudkan melalui cinta kasih seperti cinta suami kepada istrinya yang menggelora dan menyerap segalanya. Cinta kepada Tuhan harus selalu diusahakan. Mereka yang mencintai Tuhan tak memiliki keinginan ataupun kesedihan. Ia tak pernah membenci makhluk hidup atau benda apa pun, dan tak pernah tertarik dengan objek-objek duniawi. Ia merangkul semuanya dalam dekapan tingkat kasih sayangnya. Kama (keinginan duniawi) dan tresna (kerinduan) merupakan musuh dari rasa bhakti. Selama ada jejak-jejak keinginan dalam pikiran terhadap objek-objek duniawi, seseorang tidak dapat memiliki kerinduan yang mendalam terhadap Tuhan. Atma-Nivedana merupakan penyerahan diri secara total setulus hati kepada Tuhan, yang merupakan anak tangga tertinggi dari Navavidha Bhakti, atau sembilan cara bhakti. Atma-Nivedana adalah Prapatti atau Saranagati. Penyembah menjadi satu dengan Tuhan melalui Prapatti dan memperoleh karunia Tuhan yang disebut Prasada. Bhakti merupakan suatu ilmu spiritual terpenting, karena mereka yang memiliki rasa cinta kepada Tuhan, sesungguhnya kaya. Tak ada kesedihan selain tidak memiliki rasa bhakti kepada Tuhan.

Ilustrasi. Membuat Banten merupakan salah satu wujud aplikasi ajaran Bhakti Yoga

2. Ajaran Jnana Marga (Yoga)
Jñanayoga merupakan jalan pengetahuan. Moksa (tujuan hidup tertinggi manusia berupa penyatuan diri dengan Tuhan Yang Maha Esa) dicapai melalui pengetahuan tentang Brahman (Tuhan Yang Maha Esa). Pelepasan dicapai melalui realisasi identitas dari roh pribadi dengan roh tertinggi atau Brahman. Penyebab ikatan dan penderitaan adalah avidya atau ketidaktahuan. Jiwa kecil, karena ketidaktahuan secara bodoh menggambarkan dirinya terpisah dari Brahman. Avidya bertindak sebagai tirai atau layer dan menyelubungi jiwa dari kebenaran yang sesungguhnya, yaitu bersifat Tuhan. Pengetahuan tentang Brahman atau Brahmajñana membuka selubung ini dan membuat jiwa bersandar pada Sat- Cit-Ananda Svarupa (sifat utamanya sebagai keberadaan kesadaran-kebahagian
mutlak) dirinya.

Jnana bukan hanya pengetahuan kecerdasan, mendengarkan atau membenarkan. Ia bukan hanya persetujuan kecerdasan, tetapi realisasi langsung dari kesatuan atau penyatuan dengan yang tertinggi yang merupakan paravidya. Keyakinan intelekual saja tak akan membawa seseorang kepada Brahmajnana (pengetahuan dari yang mutlak). Pelajar Jñanayoga pertama-tama melengkapi dirinya dengan tiga cara yaitu: (1) pembedaan (viveka), (2) ketidakterikatan (vairagya), (3) kebajikan, ada enam macam (sat-sampat), yaitu: (a) ketenangan (sama), (b) pengekangan (dama), (c) penolakan (uparati), ketabahan (titiksa), (d) keyakinan (sraddha), (e) konsentrasi (samadhana), dan (f) kerinduan yang sangat akan pembebasan (mumuksutva). Selanjutnya ia mendengarkan kitab suci dengan duduk khusuk di depan tempat duduk (kaki padma) seorang guru yang tidak saja menguasai kitab suci Veda (Srotriya), tetapi juga bagus dalam Brahman (Brahmanistha). Selanjutnya para siswa melaksanakan perenungan, untuk mengusir segala keraguraguan. Kemudian melaksanakan meditasi yang mendalam kepada Brahman dan mencapai Brahma-Satsakara. Ia seorang Jivanmukta (mencapai moksa, bersatu
dengan-Nya dalam kehidupan ini.

Ilustrasi. Mengajar merupakan salah satu wujud aplikasi ajaran Jnana Yoga

3. Ajaran Vibhuti Marga (Yoga)
Vibhuti Marga (Yoga) merupakan jalan penghayatan terhadap kebesaran dan kemuliaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa dengan berbagai sinar-Nya sebagai simbol keindahan, kemuliaan jiwa, kebenaran, Rta, kebaikan, kebahagiaan, kekekalan, Tuhan dan lain-lain melalui jalan spiritual (pemikiran) oleh para Maharsi guna mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan umatnya. Vibhuti Marga adalah penghayatan terhadap kebenaran dan kemuliaan Tuhan yang dihayati oleh para maharesi melalui spiritual yang kemudian penghayatan tersebut dilukiskan secara lahiriah dalam bentuk puisi sebagai rasa kekagumannya.

4. Ajaran Karma Marga (Yoga)
Karmayoga adalah jalan pelayanan yang membawa pencapaian menuju Tuhan melalui kerja tanpa pamrih. Yoga ini merupakan penolakan terhadap buah perbuatan. Karmayoga mengajarkan bagaimana bekerja demi untuk kerja itu, yaitu tiadanya keterikatan. Demikian juga bagaimana menggunakan tenaga untuk keuntungan yang terbaik. Bagi seorang Karmayogin, kerja adalah pemujaan, sehingga setiap pekerjaan dialihkan menjadi suatu pemujaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Seorang Karmayogin tidak terikat oleh karma (hukum sebab akibat), karena ia mempersembahkan buah perbuatannya kepada Tuhan Yang Maha Esa.

5. Ajaran Raja Marga (Yoga)
Rajayoga adalah jalan yang membawa penyatuan dengan Tuhan Yang Maha Esa, melalui pengekangan diri, pengendalian diri, dan pengendalian pikiran. Rajayoga mengajarkan bagaimana mengendalikan indra-indra dan vritti mental atau gejolak pikiran yang muncul dari pikiran melalui tapa, brata, yoga dan samadhi. Dalam Hatha Yoga terdapat disiplin fisik, sedangkan dalam Rajayoga
terdapat disiplin pikiran. Raja Marga Yoga hendaknya dilakukan secara bertahap melalui Astāngga yoga yaitu delapan tahapan Yoga, yang meliputi yama, niyama, asana, pranayama, pratyahara, dharana, dhyana, dan samadhi.
Ilustrasi. Melantunkan Puja Tri Sandhya merupakan salah satu wujud aplikasi ajaran Raja Yoga
Apa yang telah diturunkan hanya merupakan dasar yang belum sempurna karena ternyata dari Rg Veda 1.31, ditegaskan bahwa ajaran mengenai cara menuju Tuhan itu agar dikembangkan lebih jauh dengan memperbaiki. Perbaikan perbaikan itu berjalan pada hakikatnya tergantung pada kemajuan cara berpikir dan filsafat yang dianutnya. Dalam hal ini terjadi proses pembudayaan tentang ajaran jalan menuju Tuhan sampai pada apa yang kita jumpai dalam bentuk seperti sekarang ini. Pembaharuan cara, pengembangan sistem bagaimana cara menjalankan jalan yang telah digariskan bukan satu dosa karena pasal-pasal dari Rg. Weda sendiri hanya menganjurkan. Anjuran tidak berarti harus, tetapi baik jika dilakukan. Yang terpenting dalam pengertian cara sembahyang itu ialah keharusan agar seorang yang hendak sembahyang harus dalam keadaan suci dan baik. Suci dan baik tidak hanya suci karena mandi saja tetapi juga suci karena tingkah laku. Terima Kasih.





Sabtu, 17 Maret 2018

Rangkaian Upacara Menyambut Hari Raya Nyepi

Rangkaian Upacara Menyambut Hari Raya Nyepi


Di Tahun 2018 kali ini Ada yang istimewa, perayaan hari raya Nyepi Tahun Baru Saka 1940 yang jatuh pada Hari Sabtu, 17 Maret 2018 bertepatan dengan perayaan Hari Raya Saraswati. Dimana Hari Raya Saraswati merupakan hari raya turunnya atau diwahyukannya kitab suci Veda. Hal ini sangatlah langka terjadi karena hanya terjadi setiap 100 tahun sekali. Merupakan momen yang baik bagi kita umat Hindu untuk meningkatkan sradha dan bhakti kita, menuju kebaikan spiritual.

Persiapan Perayaan Hari Raya Nyepi dan Saraswati di Indonesia sudah dilaksanakan dari dua minggu yang lalu. Dari tingkat nasional sampai dengan tingkat kabupaten kita umat Hindu mempersiapkan sarana Upacara. Hal itu tidak terkecuali bagi Umat Hindu pengempon Pura Angkasa Amertha Dharma Jati, yang berlokasi di Komplek Lapangan Udara Atang Sanjaya -Bogor. Para umat Hindu di pura tersebut jauh-jauh hari membersihkan area pura dan sebagai puncaknya pada hari Jumat, 16 Maret 2018 melaksanakan beberapa rangkaian upacara antara lain :


Nuntun (Ngias) Ida Betara

Rangkaian Upacara ini dilaksanakan dengan menghaturkan Banten sesaji disekitar Pura Angkasa Amertha Dharma Jati. Selanjutnya dilaksanakan persembahyangan Nuntun Ida Betara yang dipimpin oleh Jero Mangku Made Warda. Persembahyangan ini dilaksanakan dengan penuh kidmat. Pada pukul 8.30  Para umat diarahkan untuk Persiapan ke Beji. Beji atau sumber air merupakan tempat pelaksanaan Upacara Melasti. Dalam ajaran Hindu, proses melasti dapat dilaksanakan di Laut atau sumber air. Karena proses Melasti merupakan proses penyucian kotoran yang berasal dari jasmani kita. Oleh karenanya Melasti berasal dari kata "Mala" dan "Asti"  Mala artinya Kotoran dan Asti berarti membersihkan.  Sehingga umat Hindu mempercayai bahwa dengan upacara melasti di Laut atau disumber air dapat membersihkan kotoran jasmani sebelum melaksanakan catur brata penyepian. Selain itu dalam prosesi melasti ini yang terpenting adalah mengambil tirta suci dan pembersihan senjata Ista Dewata.



Melasti

Pukul 09.00 iring iringan perjalanan ke Beji. Dengan diiringi alunan beleganjur, iring-iringan berjalan pelan menuju sumber air yang berada tidak jauh dari lokasi Pura Angkasa Amertha Dharma Jati. Sesampainya di beji Jero Mangku Wayan Sudiarsa melakukan puja astawa kepada Dewa Baruna dengan diiringi kidung suci oleh sekehe Kidung.  Suara genta mengalun sembari mantra-mantra Veda dilantunkan, terasa kesakralannya. Setelah puja astawa selesai kemudian dilaksanakan Persembahyangan, nunas tirtha dan rangkaian upacara melasti yaitu pengambilan air suci dan penyucian senjata dewata nawa sanga.

Sekitar pukul 11.00 iring-iringan melasti dari Beji telah kembali. Sesampainya di Pura Angkasa Amertha Dharma Jati dilanjutkan dengan persembahyangan ngelinggihan Ida betara yang dipimpin oleh Jero Mangku Made Warda. Dalam proses ngelingihan Ida Betara, disambut dengan tari Pendet yang diantara penarinya berasal dari Siswi Pasraman Ganesha Brahmachari Ashram. Dalam perayaan hari raya Nyepi Tahun ini, siswa-siswi Pasraman dilibatkan dalam baleganjur, tari pendet dan dharma wacana. Ni Made Dewi Bharata Putri mengisi sesi dharma wacana sebelum persembahyangan  dimulai. Made Dewi mengulas tentang rangkaian hari raya Nyepi. Keterlibatan anak-anak dalam momen hari raya memang sangat diperlukan sebagai wahana menguji kemampuan dan belajar menyampaikan wacana kepada umat, sehingga hal tersebut perlu dipupuk lebih dini. Kemudian, dharma wacana dilanjutkan oleh Bapak I Wayan Sulaba. Persembahyangan bersama dipimpin oleh Jro Mangku Made Warda dan dilanjutkan nunas tirtha. Hingga prosesi ngelinggihan Ida Betara selesai.


Tawur Agung Kesanga

Setelah istirahat dan makan siang, para umat berkumpul dipelataran Kanista Mandala untuk mengikuti prosesi Mecaru Tawur Agung. Upacara Tawur Agung ini dipimpin oleh Jro Mangku Wayan Putra. Mantra dilantunkan dengan diiringi alunan genta dan Kidung. Prosesi Tawur dimulai.  Prosesi Mecaru Tawur Agung secara nasional juga dilaksanakan di Candi Prambanan, Magelang, Tengah yang dihadiri oleh umat Hindu sekitar yogyakarta, Klaten dan sekitarnya. Pada kesempatan tersebut dihadiri oleh Bapak Menteri Agama, Lukman Hakim  Saifuddin. Prosesi Tawur Agung merupakan prosesi penting sebelum umat Hindu melaksanakan Catur Brata Penyepian karena tujuan dari Prosesi Tawur adalah menyucikan alam semesta. Seperti dijelaskan dalam lontar "Sang-hyang Aji Swamandala" adalah termasuk upacara Butha Yajña. Yajña ini dilangsungkan manusia dengan tujuan membuat kesejahteraan alam lingkungan. Dalam Sarasamuscaya 135 disebutkan, untuk mewujudkan Catur Warga, manusia harus menyejahterakan semua makhluk (Bhutahita).

"Matangnyan prihen tikang bhutahita haywa tan mâsih ring sarwa prani." 


Artinya:

Oleh karenanya, usahakanlah kesejahteraan semua makhluk, jangan tidak menaruh belas kasihan kepada semua makhluk.


"Apan ikang prana ngaranya, ya ika nimitang kapagehan ikang catur warga, mâng dharma, artha, kama, moksha." 


Artinya:

Karena kehidupan mereka itu menyebabkan tetap terjaminnya dharma, artha, kama dan moksha.

Bhuta Yajña (Tawur Kesanga) mempunyai arti dan makna untuk memotivasi Manusia secara ritual dan spiritual agar alam senantiasa menjadi sumber kehidupan.

Tawur Kesanga juga berarti melepaskan sifat-sifat serakah yang melekat pada diri manusia. Pengertian ini dilontarkan mengingat kata "tawur" berarti mengembalikan atau membayar. Sebagaimana kita ketahui, manusia selalu mengambil sumber-sumber alam untuk mempertahankan hidupnya.
Perbuatan mengambil akan mengendap dalam jiwa atau dalam karma wasana. Perbuatan mengambil perlu dimbangi dengan perbuatan memberi, yaitu berupa persembahan dengan tulus ikhlas. Mengambil dan memberi perlu selalu dilakukan agar karma wasana dalam jiwa menjadi seimbang. Ini berarti Tawur Kesanga bermakna memotivasi ke-seimbangan jiwa.

Upacara Tawur Agung ditutup dengan melaksanakan Purwa Daksina. Prosesi ritual mengelilingi atau mengitari areal Pura sebanyak tiga kali dari arah timur ke selatan yang dalam pengider-ider Bhuwana sebagai simbol Utpti, stiti, pralina selain itu juga tentang pemutaran gunung Mandara oleh para Dewa dan raksasa untuk memperoleh tirtha amertha. Rangkaian ini memberi pesan kepada kita bahwa kita di dunia harus memutar roda kehidupan di arah yang benar. Jika kita sudah sesuai dengan arah yang benar maka akan mendapatkan Amertha,sebaliknya jika salah memutar roda kehidupan akan mendapatkan Wisaya (Racun).

Di hari Sabtu, 17  Maret 2018 persembahyangan Saraswati dilaksanakan pukul  02.00 dini hari yang dipimpin oleh Jero Mangku Made. Hal ini dilaksanakan sesuai dengan himbauan Bhisama Parisada Hindu Dharma Indonesia bahwa pelaksanaan sembahyang Hari Raya Saraswati harus dilaksanakan sebelum pukul 06.00 WIB. Karena selanjutnya umat Hindu melaksanakan catur Bratha Penyepian yaitu :

1. Amati Gni atau Tidak Menyalakan Api, Hal ini sebagai simbolisasi bahwa umat Hindu harus senantiasa mengendalikan emosi.

2.Amati Karya atau tidak bekerja. Hal ini merupakan simbolisasi bahwa kita umat Hindu harus senantiasa mengendalikan tingkah laku.

3. Amati lelungan atau tidak bepergian sebagai simbol bahwa kita harus senantiasa mengendalikan pikiran yang liar.

4. Amati Lelanguan atau tidak bersenang senang. Merupakan simbolisasi bahwa kita harus mengendalikan nafsu atau keinginan duniawi.

Kami berharap bahwa setelah melaksanakan rangkaian upacara dan melaksanakan catur bratha penyepian, kita umat Hindu senantiasa mendapatkan kedamaian lahir dan bathin serta Guyub Rukun menyongsong masa depan yang lebih baik.

SELAMAT HARI RAYA NYEPI TAHUN BARU SAKA 1940 & HARI RAYA SARASWATI.

*Om Shantih Shantih Shantih Om*


Senin, 05 Maret 2018

Kegiatan PHBS dan GERMAS Menyambut Hari Raya Nyepi

Kegiatan PHBS dan GERMAS Menyambut Hari Raya Nyepi


Hari Raya Nyepi Tahun Baru Caka 1940 masih beberapa Minggu lagi, namun suasana perayaan sudah mulai terasa. Di beberapa daerah Umat Hindu sudah mulai melaksanakan beberapa upacara yang terkait dengan Nyepi antara lain terlihat di DI. Yogyakarta yang melaksanakan Upacara Melasti di Pantai Ngobaran dan Upacara Labuhan ( Giri Kethi) di Gunung Merapi, Yogyakarta. Sekaligus penanaman pohon, sebagai wujud bhakti umat hindu dan penjagaan terhadap alam semesta. Selain itu didaerah lain, umat Hindu banyak yang mempersiapkan Ogoh-Ogoh untuk pelaksanaan Tawur Agung. Ogoh-Ogoh merupakan salah satu sarana Tawur Agung yang berbentuk raksasa menyeramkan. Hal itu sebagai simbolisasi sifat-sifat negatif manusia yang harus dikendalikan. 

Suasana tersebut juga terasa sampai di Ibu Kota. Panitia Perayaan Hari Raya Nyepi Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat sebagai lembaga tertinggi Hindu memiliki beberapa program dan acara dalam menyambut hari raya Nyepi tahun ini. Pada hari Minggu, 25 Pebruari 2018 dilaksanakan Bhakti Sosial, Yoga Massal dan Penghijauan di Pura Parahyangan Agung Jagatkarta, Gunung Salak.  Dalam kegiatan ini diawali Yoga Massal yang dipandu oleh 25 Instruktur Yoga yang sudah berpengalaman. Instruktur ini berasal dari perkumpulan yoga Markandeya. Setelah itu dilanjutkan dengan penanaman pohon disekitar Pura Parahyangan Agung Jagatkarta.
Agenda selanjutnya adalah  evaluasi dan pembinaan Germas (Gerakan Masyarakat Hidup Sehat), PUTAR (Pura Tanpa Asap Rokok) dan PHBS (Perilaku Hidup Bersih dan Sehat). Parisada Hindu Dharma Indonesia bekerjasama dengan Kementerian Kesehatan membentuk tim penilai dan pembina lomba PHBS untuk 27 Pura dan Pasraman di 3 Wilayah yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat dan Banten. Kegiatan ini serentak dilaksanakan pada Minggu, 4 Maret 2018 dari jam 08.00 s.d selesai. Berikut Tempat Ibadah yang dinilai :
1. Pura Kerta Jaya Tangerang
2. Pura Parahyangan Jagat Guru BSD
3. Pura Parahyangan Buana Raksati, Sodong, Tigaraksa
4. Pura Dharma Sidhi Karya Ciledug
5. Pura Merta Sari Rempoa
6. Pura Eka Wira Anantha, Serang
7. Pura Giri Kusuma Bogor
8. Pura Bumi Natha Sakti, Kedung Halang, Bogor
9. Pura Angkasa Amertha Dharma Jati, Lanud Atang Sanjaya
10. Pura Raditya Dharma, Cibinong
11. Pura Satya Loka Arcana, Ciangsana
12. Pura Agung Tirtha Bhuana, Bekasi
13. Pura Amerta Jati, Cinere
14. Pura Tri Buana Agung, Depok
15. Pura Prajapati Purna Pralina, Depok
16. Pura Aditya Jaya Rawamangun
17. Pura Agung Taman Sari, Halim Perdana Kusuma
18. Pura Penataran Agung Kertha Bumi, TMII
19. Pura Widya Dharma Bumi, Cibubur
20. Pura Mustika Dharma, Cijantung
21. Pura Ksatriya Loka, Pomad Kalibata
22. Pura Widya Mandala Lenteng Agung
23. Pura Agung Wira Dharma Samudra, Marinir Cilandak
24. Pura Wira Satya Buana, Tanah Abang
25. Pura Candra Prabha, Jelambar
26. Pura Segara, Cilincing
27. Pura Dalem Purnajati, Tanjung puri, Cilincing.

Berikut beberapa liputan yang kami dapat dari grup Germas 2017:
 
Tim Penilai di Pura Angkasa Amertha Dharma Jati, Lanud Atang Sanjaya-Bogor
Tim Penilai di PuraTri Buana Agung, Depok

Tim Penilai di Pura Amerta Jati, Cinere
Tanggal 25 Maret 2018 mendatang, akan diadakan kegiatan Yoga Massal bertajuk " SAKA YOGA FESTIVAL  dimana akan dilaksanakan Yoga, Penyuluhan Anti Narkoba dan Donor Darah bertempat di Bumi Perkemahan dan Graha Wisata Pramuka Cibubur. Menurut informasi yang kami dapatkan, akan dihadiri oleh Menteri Kesehatan; Prof. Dr. dr. Nila Djuwita F. Moeloek, Sp.M (K). Selain itu pesertanya mencapai 2000 Orang. Kegiatan dimulai pukul 06.00 WIB - selesai. Tentu hal itu tidak boleh kita lewatkan. Ayo kita bersama dengan keluarga datang karena Sehat itu berawal dari kita. Untuk Undangannya  terlampir dibawah ini. (suksme).



Selasa, 30 Januari 2018

Homa Yadnya (Agni Hotra) Pemujaan Kepada Dewa Agni

Homa Yadnya (Agni Hotra) Pemujaan Kepada Dewa Agni

PENDAHULUAN
Aktivitas keagamaan yang terjadi dewasa ini semakin semarak dan bergairah dari kalangan usia muda yang datang ke Pura untuk melakukan Puja. Kalau kita lihat dewasa ini, upacara ritual keagamaan sangat megah. Upacara megah tersebut belumlah bisa dipakai ukuran bahwa kita telah melaksanakan ajaran agama dengan baik. Kita perlu menyelaraskan perimbangan pelaksanaan tiga kerangka agama Hindu agar umat menjadi semakin kuat dan penuh sraddhanya. Karena kalau hanya menekankan pada ritual tanpa disertai  pemahaman tattwa dan susila semuanya terasa bak takhyul saja, maka inilah tantangan Hindu ke depan.

Upacara Agnihotra adalah upacara berdasarkan Veda, upacara ini perlu mendapat perhatian untuk dijadikan sebagai pendamping atau sebagai alternatif di dalam menyempurnakan persembahan atau pelaksanaan upacara yajna. Kalau dilihat sejarah di Bali, Agnihotra yang sering disebut Homa Yajna telah datang dan dilaksanakan di Bali bersamaan dengan masuknya agama Hindu di Bali.

Oleh karena itu, ketika upacara Agnihotra mulai berkebang dan hidup lagi, maka tidaklah patut dicurigai, bahwa ia hadir sebagai aliran atau upacara yang asal atau sumbernya tidak jelas. Perkembangan suatu ritual agama yang berdasarkan kitab suci membantu memperkuat agama itu sendiri dan memperbesar keyakinan dan ketaatan pelaksanaan ajaran agamanya. jadi pengembangan Agnihotra  kedepan sepenuhnya terserah pada umat untuk memilihnya.  Kebebasan ini tercermin dalam Bhagavadgita dengan menyebutkan “jalan apapun yang kau tempuh akan aku karunai”
Seperti dalam petikan kisah Ramayana, di mana pada tampilan awalnya selalu muncul upacara Agnihotra yang dilakukan oleh para “pertapa”, guru-guru suci, rsi-rsi di pertapaannya. Jadi jelas bahwa upacara tersebut memanglah sebuah upacara tua menurut Veda yang sampai saat masih banyak dilakukan di India. Upacara ini berlaku secara universal, karena dilakukan di upacara-upacara keagamaan secara umum.

PENGERTIAN AGNIHOTRA
Agnihotra berasal dari kata Sansekerta dimana terdiri dari dua kata yaitu Agni dan Hotra. Agni adalah api dan Hotra adalah persembahyangan atau melakukan persembahan. Jadi agnihotra adalah sebuah ritual atau bentuk upacara persembahan.  Secara umum semua yajna dalam Veda mempunyai arti sama yaitu Agnihotra. Sebab pengertian yajna dalam Veda adalah persembahan yang dituangkan ke dalam api suci. Api suci yang dimaksud adalah api yang dihidupkan dan dikobarkan dalam kunda. Kunda adalah lambang pengorbanan. Mengapa persembahan dimasukkan dalam api, hal ini disebutkan dalam Purana, bahwa Dewa Agni (disimbulkan dengan api) adalah lidahnya Tuhan. Sehingga maknanya adalah jika persembahan disampaikan melalui lidah Tuhan, maka persembahan tidak akan nyasar ketempat lain.
Ini disebutkan dalam petikan mantra  Reg Veda I.1.1
Agnimile Purohitam, yajnasya devam rtvijam
Hotaram ratnadhatanam
Arti :
“oh deva Agni, Engkau sebagai Pendeta Utama, dewa pelaksana upacara yajna, kami memuja-Mu, Engkau pemberi Anugrah berupa kekayaan yang utama”
Maknanya adalah bahwa dewa Agni berfungsi dan bertugas sebagai Purohita (Pendeta Utama), maka dapat disimpulkan bahwa tanpa dewa Agni berarti semua upacara persembahan akan sia-sia belaka. Kalau dikaitkan dengan yajna di jaman sekarang tidak akan lepas dari api itu sendiri.

YANG MELAKUKAN PERSEMBAHAN
Disebutkan dalam Kitab Satapathabrahamana : “Mereka (Tuhan) mengatakan siapa yang melakukan pemujaan kepada Beliau, para Brahmana yang mempersembahkan kepada Beliau. Lalu apa yang diberikan, yang diberikan adalah persembahan Agnihotra dan yang ditinggalkan dalam sendok besar adalah sisa (ucchista) dari Agnihotra. Yang tersisa dalam mangkok adalah beras yang dituangkan dari wadahnya.

JENIS – JENIS AGNI
Ada beberapa Jenis Agni, yaitu :
1.     Ahavaniya Agni ; yaitu api suci untuk memasak makanan
2.     Grhapatya Agni ; yaitu api upacara perkawinan untuk menjaga kesucian perkawinan
3.     Cita Agni; yaitu api suci untuk membakar mayat

FUNGSI AGNIHOTRA
Pada hakekatnya Agnihotra adalah upacara multifungsi. Secara garis besar kehidupan manusia dibagi menjadi dua yaitu :
a.     kewajiban; yaitu berupa perintah Tuhan yang harus dilaksanakan oleh umatnya
b.     tindakan yang dilakukan  berdasarkan untuk pemenuhan kebutuhan/keinginan
Demikian pula upacara Agnihotra dilakukan untuk :
1.     Nitya Karma  (sebagai kewajiban)
Nitya karma adalah sebuah kewajiban yang harus dilakukan seseorang sebagai penganut Hindu. Dari kewajiban ini dapat diketahui bahwa semua tugas mulia tersebut berguna untuk membersihkan diri dan selalu melakukan pencerahan hidup. Ada enam hal penting yang menjadi tugas pokok yang harus dilakukan sebagai pelaksanaan Nitya Karma, yaitu :
a.     Dewa Puja
b.     Melaksanakan Homa dan Belajar sastra Agama
c.     Melayani Orang Tua
d.     Memberi pelayanan kepada binatang, orang miskin dan orang tak punya
e.     Melayani Guru, Athiti
f.      Meditasi
2.     Naimitika Karma/Kamya Karma (sebagai bentuk keinginan pada kebaikan)
Naimitika Krma atau sering disebut Kamya Karma adalah suatu kegiatan yang dilakukan  berdasarkan keinginan.
3.     Mencapai Pembebasan
Disebutkan dalam  Aitraiyabrahmana, 5,31,2 bahwa jika dia melakukan persembahan sebelum matahari terbit, ini seperti memberikan pada seseorang seekor gajah, ketika tangannya tidak menjulur keluar. Tetapi jika mempersembahkan setelah matahari terbit, ini seperti memberikan sesuatu pada seseorang seekor gajah setelah ia menjulurkan tangannya. Oleh karean itu, harus dilakukan pada saat matahari terbit yang akan membawanya pada Surga.
4.     Penebusan Dosa
Disebutkan dalam Satapathabrahamana 2.3.1.6 bahwa seperti seekor ular bisa bebas dari kulitnya, demikian pula ia membebaskan dirinya dari kejahatan malam hari, demikian pula halnya yang mengetahui dengan melakukan persembahan Agnihotra ia akan bebas dari kejahatan. Penjelasan tentang pembebasan dari kejahatan dan dosa dapat dilakukan dengan melaksanakan agnihotra pada saat matahari terbenam. Ini disebutkan dalam kitab-kitab suci Jaiminiyabrahmana I.8;I.9-10 dan masih banyak kitab lainnya.
5.     Homa Therapy
Homa Therapy berarti penyembuhan. Ini ditimbulkan karena efek pelaksanaan Homa di udara. Methodenya adalah harmonisasi putaran energi yang sederhana dari planet. Seorang ahli menjelaskan bahwa reaksi kimia yang terjadi ketika pyramid api Agnihotra membakar semuanya. Yang terpenting adalah radiasinya, kita tahu aspek kimia dari api dimana bagian akhirnya didapatkan H2O, CO2 dan CO. Kemudian ada sinar dan sinar infra merah. Ini adalah pemandangan klasik. Jika dilihat struktur yang lebih halus dari api, maka didapatkan lompatan-lompatan electron dari satu atom pada atom lainnya (seperti sinar dari lampu) dan ini merupakan emisi pada level yang sangat halus dengan serangan tiba-tiba yang kuat  seperti teori quantum modern.

WAKTU YANG TEPAT MELAKSANAKAN AGNIHOTRA
Waktu pelaksanaan agnihotra yang baik sangat tergantung pada jenis upacara agnihotra yang dilaksanakan, yaitu :
1.     Waktu untuk Nitya Karma
Pelaksanaannya ditentukan oleh keberadaan matahari yaitu matahari terbit atau terbenam. Seperti disebutkan dalam beberapa kitab suci, yaitu :
a.     Kitab Katakasamhita;6,5;54-4 disebutkan “ dia hendaknya melaksanakan agnihotra di sore hari ketika saat matahari terbenam, pagi hari ketika matahari belum terbit”
b.     Maitrayanisamhita I.8,7 ; 129-9 disebutkan “agnihotra hendaknya dilaksanakan pada saat malam tiba dan pagi hari setelah matahari terlihat bersinar terang”
2.     Waktu untuk Naimitika Karma
Waktu pelaksanaan agnihotra dalam rangka Naimitika Karma sedikit berbeda dengan waktu sandhya agnihotra atau Nitya Karma. Pada Kamya atau Naimitika Karma, agnihotra dilaksanakan sesuai dengan waktu yang dipilih oleh Yajamana dan Purohita.

CARA KERJA AGNIHOTRA
Prinsip keseimbangan sangat dominant dalam kerja Agnihotra. Seperti proses terjadinya hujan, dimana Air laut menguap karena panas matahari, membentuk awan tebal, terbawa angin kearah pegunungan, karena dingina membentuk titik-titik air, jatuh menjadi hujan, memberikan kesuburan kepada hutan. Air hujan meresap dan disimpan oleh lapisan hutan, mengalir mengikuti aliran sungai dan berakhir di samudra. Siklus ini terulang terus, tiada henti. Dengan adanya hujan ini maka kelangsungan hidup semua mahluk hidup menjadi terjaga. Demikian juga kerja agnihotra dengan menyalakan api suci, dimana persembahan utama ghee, biji-bijian, dan bunga-bungaan, semua keharuman ini terbawa oleh asap yang bergabung bersama awan, kemudian menjatuhkan hujan. Hujan mendatangkan kesuburan, kesuburan ini dinikmati umat manusia dalam menjalani hidupnya di dunia.
Pernyataan ini termuat disebutkan dalam Atharvaveda VIII.107.1
ava divas tarayanti, sapta suryasya rasmayah
apah samudriya dharah
Arti :
”tujuh sinar matahari, mengangkat uap air dari samudra naik ke langit dan semuanya itu menyebabkan turunnya hujan”

YAJAMANA
Kitab Baaudhayanasratasutra;3.5.13 menyebutkan ”aham yajamano ma risam” artinya ”persembahan yajamana akan dilaksanakan oleh pendeta”. Awalnya, Agnihotra yang sederhana dilaksanakan oleh yajamana pada api sucinya sendiri, bisa dibandingkan dengan yang dilaksanakan di rumah-rumah dimana penjabarannya berdasarkan Srauta Agnihotra, tetapi untuk kelanjutan bentuk yang lebih lama dari ritual api suci.

YAJNA SEBAGAI PUSAT ALAM SEMESTA
Yajna dikatakan sebagai suatu sarana untuk mengembangkan sesuatu dari ketidakberaturan menjadi teratur. Teratur ini dimaksudkan ada suatu patokan atau titik tolak yang dapat digunakan dalam pelaksanaannya. Oleh karena Yajna merupakan sumber aturan dan efisiensi, maka hal ini diagungkan sebagai ”Pusar Alam semesta” seperti disebutkan dalam Regveda I.164.35
Iyam vedih paro antah prthivya ayam yajno bhuvanasya nabhih, ayam somo Vrishno asvasya reto brahmayam vacah paramam
Arti :
”Altar (kunda pemujaan) adalah tempat tertinggi di bumi, tempat yajna (kunda) adalah putsat alam semesta. Persembahan berupa daun-daun atau rerumputan akan menyuburkan bumi dengan jatuhnya hujan secara teratur, Oh Tuhan, Engkau adalah Mahakuasa dan tersuci diantara semuanya”
Makna sloka ini, dimana ada satu kalimat ”yajno bhuvanasya nabhih” artinya ”dimana ada pusat, disana ada bundaran (mandala) yang mengelilinginya. Pusat budnaran membentuk bagian integral dari lingkaran yang sama, dan masing-masing menjadi yang lain. ”bhuvanasya nabhih” = ”pusat alam semesta” adalah diskripsi dan sekaligus definisi yajna dalam segala bentuk manifestasi. Sedangkan satya merupakan prinsip utama yang memungkinkan beroperasinya kekuatan-kekuatan menghadapi ketidakbenaran atau kekacauan. Yajna adalah pernyataan tentang deva atau prinsip sattvik menghadapi asura-asura atau kekuatan-kekuatan yang negatif.

DUDUK MELINGKAR, MENGELILINGI KUNDA
Dari penjelasn di atas, maka bentuk pelaksanaan agnihotra, pemimpin upacara, yajamana, serta peserta lainnya duduk mengelilingi kunda, sebagai pusat alam semesta. Kunda pemujaan adalah tempat tertinggi dan pusat alam semesta. Sedangkan pendeta, yajamana dan peserta lainnya duduk sejajar di tanah, menyimbolkan persamaan kedudukan di mata Tuhan. Sebab, bekal manusia setelah meninggal hanyalah karma sewaktu hidupnya atau karma yang tersisa dari kehidupan masa lalu.
Dijelaskan dalam Regveda I.1.4, mengapa peserta agnihotra duduk melingkar mengelilingi kunda atau Vedi
Agneyam yajnam advaram, visvatah pariburasi sa
Id devesu gacchati
Arti
Dengan persembahan tanpa himsa, persembahan dilakukan dari segala arah, semoga sampai kepada para deva-deva

Makna persembahan dilakukan dari segala arah, menunjukkan bahwa kunda menjadi pusat persembahan, karena pusat alam semesta ada pada api suci. Hal  ini tentu saja berbeda dengan pola pemujaan yang mengambil Purana sebagai sumber. Karena adanya lingga atau di Bali lingga diletakkan di pelinggih, sehingga pemujaan dilakukan menghadap pelinggih. Perbedaan ini muncul ketika pemujaan berpusat pada api suci pada Agnihotra.
Dalam perkembangannya maka sang yajamana dengan tulus mempersembahkan persembahan kepada deva-deva dan selalu mencari persahabatan kepada deva-deva, ini akan meningkatkan kemuliaan hati dan pribadi sang yajamana, maka dengan mantra permohonan atau doa berikut sang yajamana menyatakan ketulusikhlasan dalam beryajna. Seperti disebutkan dalam Regveda I.89.2 tentang hubungan atau korelasi yang dilakukan yajamana dengan para deva;
Devanam bhadra sumatir rijuyatam devanam ratir abhi no ni vartatam, devanam  sakhyam upa sedima vayam deva na ayuh pra tirantu jivase
Arti :
Semoga Tuhan yang Mahabijaksana selalu melindungi kami. Kami dengan tulus ikhlas telah membina hubungan yang intim dengan pada deva dan mudah-mudahan para deva memperpanjang hidup kami sehingga dapat hidup selamanya

Disini jelas sekali harapan tersebut ditumpukkan pada para deva, terutama dalam timbulnya keingina untuk hidup lama, kekayaan, kemakmuran dan bentuk keunggulan lain yang kiranya dapat diraih. Tentu semua ini bermanfaat jika semua anugerah tersebut dapat digunakan untuk tujuan kebaikan dan akan menjadi bumerang jika digunakan untuk ketidakbaikan.
Seperti biasa, setealah upacara Agnihotra berakhir disertai pula dengan ”Nagarasankirtana”, kalau dibali disebut ”Purwa Daksina”. Dimana berjalan mengelilingi pusat yajna dari arah Timur ke Selatan dengan mengucapkan Bumi Sukta atau Prthivi Sukta, Purusa Sukta dan Nasadiya Sukta. Sukta ini sering ini juga diganti dengan Maha Mantra atau bhajan atau kirtan atau dengan ista dewata tertentu untuk ikut serta hadir dan menganugerahkan rahmatnya kepada sang yajamana.

KESIMPULAN
Dari ulasan singkat diatas ternyata banyak manfaat langsung dan tidak langsung Agnihotra tersebut. Dapat dijelaskan beberapa efek yang berkaitan langsung dengan diri pribadi, terutama kalau kita berpegang dengan pelaksanaan agnihotra tersebut. Tradisi kuno pengetahuan Veda menjelaskan manfaat yang didapatkan dari Agnihotra (Paranjpe, Homa Therapy, the last chance, 1989) Antara lain :
  • Agnihotra membuat pelaksana yajna (yajamana) inteligensianya meningkat. Sel-sel otaknya berganti dengan yang baru. Terjadi penyegaran kulitnya, terjadi pembersihan pada darahnya. Bergairah dalam hidupnya.;
  • Agnihotra dapat menetralkan  serangan bakteri;
  • Banyak energi positif dan energi kesehatan yang keluar dari pelaksanaan Agnihotra ini;
  • Power kehidupan lahir dari api Agnihotra ini, hanya pada waktu itu dalam lingkaran tersebut ada banyak sekali kekuatan datang dari Agnihotra ini yang dapat merubah struktur dan formasi dari semua atom, sehingga semua substansi, bahan-bahan menjadi universal.
  • Agnihotra seperti sebuah magic. Ia merupakan daya tarik yajamana, sehingga mencengkramnya dan kemudian dia kelihatan bersinar (tejas)
DAFTAR PUSTAKA
Ir. W. Nilon Batan, Jro. Mangku. Made Mudita, Dewa : “lebih Jauh tentang AGNIHOTRA”, pesraman liang galang.

Rabu, 17 Januari 2018

Awighnam: Semoga Tiada Rintangan

Awighnam: Semoga Tiada Rintangan

Om Awighnamastu Namo Siddham merupakan kalimat yang sangat umum diucapkan saat akan memulai suatu pekerjaan apakah itu terkait aktifitas berfikir, berkata, maupun dalam tindakan fisik. Seperti para kawi yang menempatkan awighnamastu pada baris awal dalam berbagai lontar; Wrhaspati tattwa, Jnana tattwa, Buwana Kosa, kakawin Arjuna Wiwaha dan sebagainya. Awighnamastu menjadi doa singkat yang sangat penting bagi para kawi yang memerlukan bukan hanya konsentrasi namun juga karunia agar apa yang ditulis mendapat tuntunan, perlindungan dari segala halangan dan rintangan, dan memperoleh taksu siddhi yaitu daya kekuatan yang tersimpan dalam karyanya sehingga menjadi bertuah dan mampu mebius pembaca dari waktu kewaktu. Bahkan Mahabharata yang abadi telah ditulis langsung oleh ganesha sang pemberi anugrah sarwa siddha.
A=tidak, wighna=rintangan, astu=semoga. Huruf a dalam awighnamastu mengandung arti sebagai ketiadaan atau pertentangan dari kata berikutnya, dan astu berarti semoga demikian. Ajaibnya huruf a didepan kata wighna menyebabkan wighna (rintangan) menjadi sirna. Disini huruf "A” dipandang mengandung kekuatan yang meniadakan atau membakar wighna sehingga penempatan A diawal kata negatif hampir sama fungsinya dengan nir yang berarti nol, misalnya nirwighna berarti tanpa rintangan.
 
Rintangan (wighna) hidup memang tak dapat dihindari selama manusia hidup didunia, bahkan setelah meninggalpun (geguritan atma prasangsa) sang roh konon melewati berbagai rintangan yang mengerikan sebagai cermin prilaku yang bersangkutan selama hidup di dunia. Penderitaan manusia yang seolah tanpa akhir bersumber dari panca klesa, seperti yang disebutkan dalam Yoga sutra Patanjali 11.3: “Avidyasmita raga dvesaa bhinivesah klesah”, bahwa ada 5 penyebab penderitaan yang terdiri dari: 1. Awidya: Kebodohan. 2. Asmita: Keakuan. 3. Raga: Keterikatan. 4. Dwesa: Kebencian. 5. Abhiniwesa: Ketakutan akan kematian.

Wighna dan klesa sebenarnya bersumber pada diri sendiri akibat kebodohan, keakuan, keterikatan, rasa benci, dan ketakuatan akan kematian yang berlebihan. Kebodohan menyebabkan kebingungan, keakuan menimbulkan kesombongan, keterikatan menyebabkan keserakahan dan kesedihan, dan ketakutan menyebabkan hilangnya kesadaran. Setiap sikap dan tindakan dalam penyelesaian suatu persoalan akan berpengaruh pada persoalan berikutnya yang akan dihadapi. Pertimbangan yang tepat memerlukan kebijaksanaan pikiran yang disebut wiweka. Wiweka tidak sekedar melibatkan pengetahuan, pengalaman, kesabaran, tetapi yang lebih diperlukan adalan sinar suci Tuhan sehingga jalan terbaik akan diperoleh.

Salah satu kelemahan manusia adalah bahwa ia tidak mengetahui apa yang akan dihadapinya, sehingga hidup manusia bagaikan teka-teki yang tak berujung. Rintangan bak sebuah pertanyaan hidup yang harus dijawab dengan sebuah atau beberapa tindakan yang hasilnya serba ketidakpastian. Karena itu perjalanan hidup setiap orang memiliki variasi tersendiri tergantung apa tantangan yang dihadapi dan bagaimana ia menyikapinya dalam tindakan sehingga hasil akhir akan diperoleh.

Pandawa dan Korawa ketika diuji ole Gurunya Drona, untuk membidik sasaran seekor burung, mereka memberikan tangapan yang berbeda sesuai dengan fokus masing-masing. Yudistira melihat batang pohon secara utuh tempat burung itu bertengger, sedangkan Arjuna hanya melihat satu titik pada tubuh burung tersebut. Guru Drona kemudian memahami bahwa Arjunalah satu-satunya yang memiliki bakat memanah terbaik.

Seseorang sering gagal fokus tehadap apa yang dihadapi oleh karena begitu banyak pertimbangan yang mungkin bahkan tidak terlalu penting. Sehingga banyak waktu terbuang hanya untuk persoalan-persoalan kecil. Kita lupa apa yang menjadi fokus tujuan hidup yang sebenarnya yaitu moksartham jagadhita, seperti banyak dijelaskan dalam sastra kuno bahwa diri kita yang sejati yang merupakan perwujudan kesadaran (tutur) sedang dalam kondisi tidur (turu). Maka alpa dari yang sejati adalah penyebab dari persoalan hidup yang sebenarnya. Oleh sebab itu, Wighna terbesar manusia adalah ketika ia lupa dengan tujuan yang sejati sehingga menempuh jalan yang tak jelas ujung pangkalnya.

Dalam kenyataan hidup memiliki wiweka sangat diperlukan, untuk itu pengetahuan yang meningkatkan wiweka amat sangat diperlukan. Pengetahuan dapat diperoleh melalui Tri Premana (Pratyaksa, anumana, agama) yang melibatkan pengalaman langsung, melakukan analisa atas gejala yang ada dan meminta bantuan dari sumber yang terpercaya. Pengalaman dipandang sebagai guru yang paling utama, karena darinya pengetahuan utuh akan diperoleh. Pengetahuan inilah yang kemudian merupakan tongkat penuntun menuju pembebasan dari ikatan yang melekat pada manusia. Kesucian diri dan pengetahuan suci akan menuntun pada kesucian, oleh karena kesucian itulah menyebabkan tumbuhnya wiweka. Hal ini telah menjelaskan mengapa banyak para pertapa memilih hidup dalam pengasingan duniawi demi memperoleh pengetahuan pembebasan (moksa).

Bagi yang giat bekerja, Bhagawad Gita 11.47 menganjurkan bekerja tanpa ikatan akan hasil sebagai sarana pembebasan dipandang sebagai dharma yang tertinggi. Ketika kerja sebagai persembahan dari rasa bhakti yang mendalam, maka Tuhan akan memberikan karunia yang sama dengan para yogi yang jiwanya tidak terikat lagi oleh ikatan duniawi. Bagi seorang pekerja menjadikan Kerja, bhakti dan cinta kasih sangat diperlukan sebagai penghancur rintangan.

Bhakti perlu diwujudkan dengan suatu Sadhana yaitu praktek spiritual dari seorang bhakta. Sadhana mendekatkan manusia dengan Tuhan, seperti besi yang mendekat pada sebuah magnet, sehingga seolah besi itu adalah magnetnya. Seorang Bhakta yang tulus dan penuh pelayanan akan memperoleh karunia, kemampuan yang baik dalam menghadapi setiap persoalan hidup karena senantiasa dalam perlindungan dan tuntunan Tuhan. Sri Krishna dalam Gita IX. 22 menyatakan:
"Ananyas cintayanto mam
ye janah paryupasate
tesham nityabhiyuktanam
yoga-ksemam vahamyaham"

Terjemahan:
Tetapi, mereka yang memuja-Ku dan hanya bermeditasi kepada-Ku saja, kepada mereka yang senantiasa gigih demikian itu, akanAku bawakan segala apa yang belum dimilikinya dan akan menjaga apa yang sudah dimilikinya.

Namun kenyataanya manusia lebih sering lupa mendekatkan diri dengan Tuhan saat dalam kondisi nyaman. Namun sebaliknya akan begitu dekat ketika persoalan berat sedang ia hadapi. Tuhan menjadi tempat terakhir untuk mengadu, dan memohon solusi atas hambatan yang dihadapi. Seorang bhakta yang baik akan melaksanakan sadhana dalam kondisi apapun. la selalu waspada dan percaya sepenuhnya bahwa Tuhan mengendalikan hidupnya. Pada umumnya Tuhan di puja dalam berbagai perwujudan atau manifestasi Dewa-Dewi sesuai dengan karma si penyembah.

Dalam berbagai pustaka Hindu, Ganesha adalah dewa ilmu pengetahuan, penghancuran segala awidya, kegelapan pikiran, dan segala rintangan. Pemujaan Ganesa bertujuan untuk mendapatkan tuntunan Tuhan dalam mengembangkan hidup yang bijaksana. Kemampuan menghadapi tantangan dan mengembangkan kebijaksanaan, sebagai langkah awal untuk meraih hidup yang damai dan sejahtera di bumi ini. Dalam Ganashtakam disebutkan:
Sarva vighna haram devam sarva vighna vivarjitham,
Sarva sidha pradatharam, Vandeham Gana Nayakam.
Terjemahan:
Penghormatan Ganesha yang merupakan pemimpin ganas yang menghilangkan segala rintangan, Dia yang meniadakan semua jenis hambatan, dan Dia yang memberkati seseorang dengan segala prestasi.

Dengan memuja Ganesha diharapkan segala rintangan dan hambatan (wighna) ditiadakan sehingga segala keberhasilan dan kesuksesan diperoleh (sarwa sidha). Permohonan ini menunjukkan bahwa penting bagi seorang bhakta memberikan pujian pada Tuhan seta mengungkapkan rasa takutnya akan hambatan hidup dan mengakui bahwa ia memerlukan bantuan Tuhan (Ganesha) untuk menghalau segala rintangan serta berkat kesuksesan didalam kehidupanya. Wighna yang ingin dijauhkan, siddha yang ingin diperolah (Awighnam astu namo siddham).

Awighnamastu adalah sebuah doa dengan harapan agar segala rintangan yang dhadapi ditiadakan demi lancamya suatu aktifitas yang meliputi pikiran, perkataan dan tindakan sehingga memperoleh sarwa Siddha yaitu segala macam keberhasilan.

Oleh: Gde Adnyana
Source: Majalah Wartam, Edisi 31, September 2017

Senin, 15 Januari 2018

Dimensi Religi Ngayah

Dimensi Religi Ngayah

Kerja adalah wujud cinta. Bila kita tidak dapat bekerja dengan kecintaan, tapi hanya dengan kebencian, lebih baik tinggalkan pekerjaan itu. Lain duduklah di gerbang rumah ibadat dan terimalah derma dari mereka yang bekerja penuh suka cita (Kahlil Gibran).

Ngayah menjadi jiwa dalam tindakan keagamaan, kata yang anggun, santun “tiang ngayah” mendamaikan hati dan pikiran. Masihkan ngayah menjadi pundi dan panji kehidupan beragama, sosial dan budaya?. Dibutuhkan internalisasi kesadaran ngayah bukan sekedar tiket menggapai surgawi, tapi melepaskan segala bentuk keterikatan padanya. Ketika ngayah masih dilekatkan pada egoisme, mencari untung, material oriented di jenjang ini kita harus melompat melampaui semua itu bahwa Sang Penguasa atas kerja adalah Hyang Widhi. Masihkah kita mengeluh, ngeduman ketika kerja di nilai dan di hargai tidak sesuai dengan harapan kita. Semasih ketidaktulusiklasan itu melekat, maka bola indah karma itu tidak akan terbang melambung lepas di alam nirvana.

Kepuasan batin tidak akan bisa diukur dengan material dan kucuran keringat ngayah adalah pangruwat klesa pada raga untuk jalan membuka lentera nurani. Panah Arjuna tidak bisa lepas karena kemelekatannya pada hal yang bersifat jasmani. Di titik material kita butuh untuk kelangsungan hidup, namun terjebak dan terikat padanya membuat terjatuh, maka pikiran harus bisa membebaskan kebelengguan ngayah harus di bayah. Wiwekananda menegaskan bahwa “rahasia terbesar dari kemenangan sejatai (true success) adalah seseorang yang tidak mengharapkan sesuatu sebagai balasannya, orang sempurna yang tidak mengutamakan diri adalah yang paling berhasil dan paling beruntung dalam dunia ini”.

Dimensi religius ngayah, jangan meminta sesuatu, jangan menghendaki sesuatu sebagai balasan, berikan kekuatan jasmani dan rohani dalam hubungan dengan Hyang Widhi, degan sesama dan dengan semesta ini. Jangan dipikirkan kembalinya itu sekarang, dia akan datang kembali dengan ribuan kali banyaknya, tetapi yang paling fokus adalah perhatian tidak tercurahkan pada hasilnya sebagaimana Bhagawadgita menyebutkan "mayi sarvani karmani, samnyasya bhutva, yudhyasva vigatajvrah".

Artinya serahkanlah segala pekerjaan kepadaKu dengan memusatkan pikiran kepada Atma, melepaskan diri dari pengharapan dan perasaan keakuan dan berperanglah kamu, bebaskan pikiranmu dari yang susah.

Religius ngayah adalah pemahaman ke dalam diri bahwa mereka yang dibayangi oleh guna dari prakerti akan terikat pada pekerjaan dari guna tersebut. Akan tetapi ia yang sempurna pengetahuannya dalam mengetahui semuanya. Atma pada dasarnya adalah murni, suci, bebas abadi dan mempunyai kesadaran sendiri. Manunggalnya dengan prakerti menimbulkan kelupaan pada keadaan diri yang sebenamya yang akhimya menimbulkan ego, ahamkara, ini adalah karya prakerti. Keadaan inilah yang membuat manusia berbuat, berlaksana atas dorongan dari alam.

Jiwa dalam kelupaan pada keadaan dirinya yang sebernarnya harus mendapat tuntunan perlahan kearah kesadaran diri dan pembebasan dari ikatan. Menurut Samkya ajaran pembebasan diri dari ikatan prakerti dimana penarikan purusa dari prakerti dengan meniadakan gerak sama sekali dengan jalan yoga. Namun disisi lain Bhagawadgita mengajarkan berlaksana, bekerja, menyerahkan diri pada Hyang Widhi, tidak mengikatkan diri pada keuntungannya. Pelaksanaan demikian inilah yang dapat menuntun pembebasan diri dari ikatan.

Dalam ngayah kendalikan diri dari kecenderungan untuk membuat tunas keakuan, jangan biarkan pikiran memasuki lorong kegelapan dan keakuan itu. Ngayah mengajarkan pada kita supaya menikmati keindahan segala gambaran didunia, tetapi jangan kita mempersamakan diri dengan salah satu di antaranya bahwa “ini milikku, ini punyaku”. Lihatlah daun teratai di air, air tidak dapat melekat dan membasahinya, lihatlah pohon besar selalu memberikan kesejukan dan makanan bagi penghuninya begitulah seharusnya ngayah. Masuklah dalam dunia ngayah pelajari dan hayati rahasia kerja. Sekali lagi Wiwekananda berkelakar “bicara saja tak ada gunanya. Burung beo pun bisa berbuat itu. Kesempumaan dapat dicapai dengan jalan melakukan tindakan yang bebas dari kepentingan diri sendiri”.

Ngayah adalah jalan hayu dan sebagai ajaran karma yoga bersifat mutlak dan berlaku universal yang menjadi penerang batin umat Hindu sebagai hukum sebab akibat. Maka dari itu Mpu Kanwa dalam kakawin Arjuna Wiwaha menekankan pentingnya ajaran karma yoga sebagai spirit untuk dapat berprilaku bajik untuk mendapatkan kerahayuan “Syapa kari tan temung hayu masadhana sarwa hayu, nyyata katemwaning hala masadhana sarwa hala, tewas alisuh manangsaya purakreta tinut, sakaharepan kasidha maka darsana pandusuta” Artinya siapakah tidak menemukan kerahayuan bila telah bersadanakan segala kebajikan, pasti mendapat celaka, ia yang bersadanakan segala yang buruk, bahaya bila menyangsikan ajaran karma yang purba ini, lalu apa lagi yang patut dianut, segala harapan akan berhasil bila meniru (laku tapa) Sang Arjuna.

Hakekat dari ngayah itu adalah cinta kasih, tiap perbuatan kita serahkan pada Hyang Widhi dan penyerahan diri pada saat ngayah adalah penyucian. Pelaksanaan penyucian jiwa di dalam ngayah dengan totalitas penyerahan diri dan pelayan pada Hyang Widhi, dengan jalan ini jiwa dapat bebas dari ikatan ego. Cinta kasih, ketulusiklasan sebagai landasan ngayah sebagai daya penggerak dalam kerja, cinta kasih itu tiada lain adalah Hyang Widhi. Sabda Sri Krsna “pada mereka yang menyembah aku dengan cinta kasih, mereka ada dalamKU dan Aku ada di dalam mereka”. Bahwa cinta kasih dalam ngayah yang terfokus dapat mengubah jiwa umat Hindu untuk bisa lepas dari belenggu keterikatan dan menggugah hatinya untuk menuangkan air jernih kebajikan sehingga bayangan matahari dan bulan akan lebih jelas terlihat dalam nurani yang suci bersih.
Oleh: I Nyoman Dayuh
Source: Majalah Wartam, Edisi 32, Oktober 2017

Perilaku Hidup Bersih dan Sehat di Pura

Perilaku Hidup Bersih dan Sehat di Pura

Perilaku merupakan faktor utama yang mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat. Banyaknya masalah kesehatan yang terjadi di Indonesia, akar permasalahannya adalah ketidakmampuan masyarakat untuk ber-Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS). PHBS mencakup lima tatanan yaitu PHBS tatanan di Rumah Tangga, tatanan di sekolah, tatanan di institusi kesehatan, tatanan tempat kerja serta tatanan di tempat-tempat umum (TTU). PHBS merupakan salah satu komponen Desa dan Kelurahan Siaga Aktif. Desa dan Kelurahan Siaga Aktif adalah desa yang penduduknya dapat mengakses dengan mudah pelayanan kesehatan dasar, terbina dan berkembangnya Upaya Kesehatan Berbasis Masyarakat (UKBM) dan masyarakatnya mampu ber-PHBS.

Penularan penyakit dapat terjadi di tempat-tempat umum karena kurang tersedia air bersih dan jamban, kurang baiknya pengelolaan sampah dan air limbah, kepadatan vector berupa lalat dan nyamuk, kurangnya ventilasi dan pencahayaan, kebisingan dan lain-lain. Tempat-tempat umum yang tidak sehat dapat menimbulkan berbagai penyakit, yang selanjutnya dapat menurunkan kualitas sumber daya manusia.

Penyakit yang banyak terjadi di tempat – tempat umum antara lain Diare, Demam Berdarah, Keputihan, infeksi saluran pernafasan akut serta penyakit – penyakit lain akibat terpapar asap rokok, seperti : penyakit paru-paru, jantung dan kanker. Sekitar 55% sumber penularan penyakit Demam Berdarah terjadi di tempat-tempat umum, oleh karena itu tempat-tempat umum perlu menjadi perhatian utama dalam pemberantasan penyakit. Terjadinya penyakit-penyakit tersebut disebabkan lingkungan yang buruk dan perilaku yang tidak sehat seperti tidak menggunakan air bersih, membuang sampah sembarangan, membiarkan air tergenang dan kebiasaan merokok di tempat umum.

Salah satu aplikasi dan perbuatan baik (subha karma) secara etimologi adalah Tri Kaya Parisudha (bahasa Sanskerta) dari kata Tri berarti tiga, Kaya berarti perbuatan/ perilaku dan Parisudha berarti (amat) disucikan. Adapun rinciannya (Tri Kaya Parisudha) terdiri dari :
a. Manacika, yaitu berpikir yang bersih dan suci
b. Wacika, yaitu berkata yang baik, sopan dan benar
c. Kayika, yaitu berperilaku yang jujur, baik dan benar

Perilaku yang baik dan benar dalam memelihara dan meningkatkan kesehatan disebut dengan PHBS (Perilaku Hidup Bersih dan Sehat). Hidup sehat dalam pandangan agama Hindu dapat diwujudkan dengan adanya kesatuan yang harmonis antara manusia dan alam lingkungan (palemahan), manusia dengan manusia lainnya (pawongan) dan manusia dengan sang pencipta (parahyangan) sesuai dengan pedoman Tri Hita Karana. Dengan menerapkan Tri Hita Karana diharapkan manusia dapat mencapai kesejahteraan jasmani, rohani, sosial, spiritual dan menjaga serta memelihara kesehatan lingkungan.

Walaupun banyak pedoman yang terkait kesehatan dalam kitab-kitab suci agama Hindu, namun masalah kesehatan umat Hindu umumnya cukup kompleks, menyangkut pengetahuan, sikap dan perilaku. Derajat kesehatan senantiasa harus ditingkatkan atau dipromosikan sehingga kita terhindar dari penyakit, oleh karena mencegah lebih baik daripada mengobati penyakit. Dengan menerapkan PHBS secara terus menerus maka akan menjadi suatu kebiasaan, sehingga kita mampu memelihara kesehatan dan terhindar dari penyakit.

PHBS sangat penting disosialisasikan, disebarluaskan dan diterapkan dimana di tempat tersebut berkumpul banyak orang. Pura adalah tempat yang efektif dan efisien untuk memberikan informasi-informasi kesehatan, dimana pura juga merupakan tempat berkumpulnya umat dalam rangka beribadah juga dalam rangka mendapatkan informasi-informasi penting dari tokoh-tokoh masyarakat yang dipercaya dan disegani.

Keberhasilan pembinaan PHBS dapat dilihat dari pencapaian upaya-upaya yang dilakukan di pusat, provinsi, kabupaten, kota, kecamatan, desa, kelurahan dan di berbagai tatanan lain.

Terwujudnya tatanan pura yang ber-PHBS dengan indikator sebagai berikut :
1. Mengenakan busana/ pakaian yang bersih, rapi dan sopan
Pada saat kita memasuki areal pura sudah tentu kita menampilkan penampilan yang terbaik mulai dari cara berpikir, berkata dan berperilaku yang sopan, baik dan benar.
Berpakaian bersih maksudnya terbebas dari segala kotoran dan bau yang tidak sedap, rapi artinya sesuai dengan peruntukan, wajar dan tidak berlebihan, serta sopan artinya berbusana sesuai dengan situasi dan tempat, berbusana yang pantas, tidak menimbulkan reaksi negatif orang lain dan tidak mempertontonkan tubuh atau menjadikan diri pusat perhatian.

2. Mencuci tangan dengan sabun pada air bersih yang mengalir
Mencuci tangan adalah membersihkan tangan dari segala kotoran dimulai dari ujung jari sampai siku dan lengan dengan cara tertentu sesuai kebutuhan, dengan tujuan membebaskan tangan dari kuman dan mencegah kontaminasi, mencegah atau mengurangi penyakit infeksi. Mencuci tangan ini dilakukan sebelum mengawali persembahyangan di pura atau pada saat melakukan kegiatan lain di pura.
Doa sehari-hari membersihkan tangan “ Om ang agrha dwaya namah “ yang artinya Oh Hyang Widhi semoga kedua tangan hamba bersih.

3. Menggunakan jamban sehat
Setiap pura diharapkan memiliki sarana buang air kecil (BAK) atau buang air besar (BAB) atau jamban yang bersih. Ditempatkan pada areal jaba pura atau Nista Mandala dimana Nista Mandala adalah halaman yang bebas yang bisa dipakai untuk dapur umum, kamar mandi/ WC, tempat parkir kendaraan, tempat istirahat dan lain-lain.

4. Membuang sampah pada tempatnya dan ada pemilahan sampah
Meningkatnya jumlah sampah setelah piodalan atau hari-hari raya Hindu akan menimbulkan masalah kesehatan jika tidak tertangani dengan baik. Kebiasaan membuang sampah sembarangan baik di dalam pura maupun di luar pura misalnya di areal parkir, sepanjang jalan dan got-got serta sampah setelah piodalan akan membuat pura kelihatan kotor, jorok dan bau. Sampah plastik terutama dapat menyebabkan kerusakan lingkungan. Hal ini dapat memunculkan masalah dalam penanganan kebersihan dan membuat image buruk bagi umat Hindu. Salah satu unsur Tri Hitta Karana menjaga hubungan manusia dengan lingkungan belum diaplikasikan secara optimal.

Cara yang bisa dilakukan untuk menjaga kebersihan pura antara lain menyediakan tempat sampah sesuai jenis sampah. Umat/ pengunjung pura diharapkan ikut bertanggung jawab untuk mendukung kebersihan pura antara lain mengambil canang/ bunga sehabis sembahyang dan membuangnya pada tempat sampah yang telah disediakan.

5. Tidak merokok dan tidak mengkonsumsi Narkoba di pura
Pendekatan melalui bahasa agama dapat meningkatkan kesadaran dan kewaspadaan generasi muda terhadap bahaya penyalahgunaan narkoba dan bahaya rokok. Masalah rokok dan penyalahgunaan obat terlarang menuntut peningkatan peranan para pemuka agama, guru agama dan penyuluh agama untuk memberikan bimbingan, penyuluhan dan motivasi melalui pendekatan bahasa agama Hindu tentang bahaya narkotika dan obat-obat terlarang lainnya. Agama Hindu mengajarkan umatnya untuk selalu berpegang teguh pada Dharma, siapa yang dapat hidup sesuai dengan Dharma ia akan selamat, bahagia dan damai selamanya. Demikian pula sebaliknya jika perbuatan itu melanggar Dharma maka penderitaan hasilnya dan itu pasti. Sesuai dengan Perda Kawasan Tanpa Rokok yang diterapkan di provinsi Bali No.10 Tahun 2011 maka pura merupakan salah satu kawasan tanpa rokok (KTR). Kawasan Tanpa Rokok di pura di laksanakan pada kawasan nista mandala, madya mandala dan utama mandala.

6. Tidak meludah sembarangan
Pada prinsipnya apa saja yang keluar dari badan manusia di pura adalah “leteh” misalnya ludah, kencing, ingus, darah, keringat dan air susu. Jika dalam keadaan terpaksa hanya boleh dilakukan di Nista Mandala (areal paling luar pura). Sebelum sembahyang sebaiknya juga dilakukan kumur-kumur agar mulut bersih. Doa sehari-hari untuk berkumur adalah “ Om Jang jihwa ya namah “ yang artinya Oh Hyang Widi semoga mulut (lidah) hamba bersih.

7. Memberantas jentik nyamuk
Penyakit demam berdarah disebabkan oleh virus dengue yang penularannya dari satu orang ke orang lain dengan perantara nyamuk aedes agepty. Dalam lontar disebutkan “ Adhibhautika “ yaitu penyakit yang disebabkan oleh binatang/ mahluk lain yang menyerang tubuh yaitu virus lewat perantara gigitan nyamuk aedes agepty. Untuk memberantas nyamuk ini, tidak cukup hanya dengan fogging tapi harus disertai dengan PSN (pemberantasan sarang nyamuk).

8. Pengelolaan pura yang bersih, rapi dan asri dan menjaga kebersihan lingkungan, sarana dan prasarana pura
Di dalam melaksanakan persembahyangan kondisi pura harus bersih dan asri sehingga umat yang melaksanakan persembahyangan terasa tenang, hening secara lahir dan bathin. Pura yang bersih adalah pura yang llingkungan, sarana dan prasarananya terbebas dari kotoran, debu dan sampah. Sedangkan pura yang rapi dan asri adalah pura yang tertata serasi antara bangunan, taman dan prasarana lainnya, ada
penghijauan dari tanam-tanaman yang bermanfaat bagi proses keagamaan. Kosep Tri Hitta Karana sangat tepat dilaksanakan di pura.

9. Mencegah hewan berkeliaran di lingkungan pura
Mencegah hewan piaraan berkeliaran di lingkungan pura perlu diperhatikan karena mempengaruhi kesehatan. Jenis hewan piaraan yang sering kita lihat berkeliaran di lingkungan pura misalnya anjing, kucing, unggas dll. Dihimbau kepada warga yang memelihara hewan piaraan tinggal di sekitar pura untuk selalu menjaga hewannya agar tidak memasuki area pura dimulai dari wilayah nista mandala, madya mandala sampai dengan utama mandala.

10. Penyiapan dan penyimpanan tirta menggunakan air bersih dalam wadah tertutup dan memercikkan tirta dengan menggunakan alat pemercik tirta.
Alat pengetisan “tirta” sedapat mungkin memakai alang-alang yang masih segar dan bersih, jangan dipakai berulang-ulang sampai mingguan, jangan direndam pada tirtha, bila sudah kering harus diganti dengan yang baru.
Bila memecikkan tirtha dengan kembang harus kembang katihan yang ada tangkainya dan dipegang tangkainya, jangan tidak ikut masuk ke tirtha.
Tangan yang memetikkan tirtha harus bersih dan sehat, kuku – kuku harus bersih, pakaian bersih dan rapi.

11. Diupayakan para pandita dan pinandita menjaga kebersihan diri dan melakukan pemeriksaan kesehatan di layanan kesehatan secara berkala /sewaktu-waktu bila diperlukan
Pola Hidup Bersih dan Sehat pada aspek niskala dapat digambarkan sebagai kesucian atman (jiwa/ rohani), pikiran dan akal (budi) yang diperoleh dari upaya yang terus-menerus mempelajari dan melaksanakan ajaran-ajaran Agama Hindu dalam kehidupan sehari-hari (kehidupan spiritual) dengan menekankan pada keyakinan yang kuat adanya Hyang Widhi.

Kehadiran para Pandita dan Pinandita dalam pelaksanaan setiap upacara keagamaan di pura sangatlah vital. Oleh karenanya sangat penting untuk memperhatikan kesehatan pada Pandita dan Pinandita agar beliau senantiasa siap untuk melayani umat Hindu baik dalam pelaksanaan upacara yadnya di Pura maupun dalam pelaksanaan tugas-tugas lainnya. Pandita dan pinandita harus diupayakan memiliki jaminan pemeliharaan kesehatan sebagai tanda terima kasih umat kepada pendeta atau pemimpin upacara keagamaan karena beliau telah menyelesaikan upacara yadnya. Di samping mentaati dan mengamalkan ajaran orang-orang suci, membantu segala usaha para Sulinggih, turut memajukan pendidikan terutama di bidang keagamaan, membangun tempat pemujaan untuk orang-orang suci atau sulinggih, semuanya itu juga termasuk pelaksanaan Rsi Yadnya.

12. Mengkonsumsi makanan/ jajanan bersih, sehat di kantin pura. Kantin pura sebaiknya menyediakan makanan yang bersih dan sehat serta memperhatikan kaidah gizi seimbang
Dalam ajaran Panca Nyama Brata (lima cara pengendalian untuk mencapai kesucian dan kesempurnaan batin) disebutkan tentang pengaturan cara makan yang disebut Aharalagawa yang artinya makan secukupnya (tidak berlebihan, tidak kekurangan dan tidak berfoya-foya). Begitu besarnya pengaruh makanan sehingga harus diatur agar dapat meningkatkan spiritual dan mencapai kesucian serta kesempurnaan batin.

Sumber : Pedoman PHBS di Pura (PHDI Pusat)